Laut mengingat semua yang ditimpakan manusia kepadanya. Ia selalu menyemai kehidupan, tetapi juga punya potensi menabur bencana. Pilihan ada di tangan manusia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Laut itu hidup. Ia bukan entitas yang tunggal, melainkan ekosistem yang terdiri dari interaksi banyak makhluk. Laut mengingat semua yang ditimpakan manusia kepadanya. Ia selalu menyemai kehidupan, tetapi juga punya potensi menabur bencana. Pilihan ada di tangan manusia.
Guru Besar Bidang Pencemaran Laut dan Bioremediasi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Agung Dhamar Syakti, Selasa (27/10/2020), mengatakan, bencana akan terjadi jika manusia terus-menerus menyakiti laut. Yang akan paling merasakan dampaknya adalah masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti di Kepulauan Riau.
”Pada 2017, saya mengingatkan warga tentang pencemaran plastik mikro di laut. Gigitan hewan, bahkan mikroba, dapat membuat plastik menjadi remahan yang berisiko termakan biota laut,” kata Agung saat menyampaikan orasi ilmiah ”Ijma Laut Kala Cerubuk” dalam pengukuhan guru besar di UMRAH, Tanjung Pinang.
Mengutip Jurnal Science edisi 2015, Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik di laut yang terbanyak setelah China. Di Indonesia, dari 5,4 juta ton sampah plastik yang dihasilkan per tahun, 0,5-1,5 juta metrik ton mencemari pesisir.
Saat terkena sinar matahari di laut, sampah plastik melepaskan senyawa kimia aditif, misalnya nonylphenols, polybrominated diphenyl ethers, phthalates, dan bisphenol A. Apabila termakan ikan, senyawa kimia itu akan mengganggu hormon endokrin yang pada akhirnya bisa menyebabkan perubahan jenis kelamin, atau dikenal sebagai imposex.
Plastik mikro juga bisa menyerap bahan pencemar lain yang bersifat karsiogenik, seperti pestisida dan logam berat. Bahan pencemar itu tersimpan dalam jaringan lemak dan organ hewan laut yang kemudian akan diteruskan kepada pemangsa yang kedudukannya lebih tinggi dalam rantai makanan.
”Manusia yang berada di puncak rantai makanan dan memiliki masa hidup yang panjang tentu akan mengakumulasi lebih banyak bahan beracun tersebut,” ujar Agung.
Bila termakan ikan, senyawa kimia itu akan mengganggu hormon endokrin yang pada akhirnya bisa menyebabkan perubahan jenis kelamin atau dikenal sebagai imposex.
Dampak lain dari sampah plastik yang harus diwaspadai adalah perannya sebagai perantara yang memfasilitasi perpindahan spesies dari suatu daerah ke daerah lain. Ketika masuk ke dalam ekosistem baru, spesies itu mungkin saja bersifat invasif sehingga bisa menyebabkan perubahan komposisi spesies lama atau bahkan kepunahan.
Industri farmasi
Lebih lanjut, Agung menerangkan pentingnya mengawasi residu obat dan kosmetik yang dikeluarkan dari tubuh lewat urine dan feses. Sisa-sisa metabolit itu biasanya tercampur limbah rumah tangga dan kemudian mengalir sampai ke laut melalui limpasan sungai.
Pada 2013, Agung melakukan penelitian di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia menemukan sekitar 100 senyawa metabolit dari obat-obatan, di antaranya adalah dexamphetamine, thioridazine metitepine, dan enpiprazole, yang banyak digunakan dalam penanganan pasien dengan gangguan jiwa.
”Di perairan, senyawa pendatang ini mencetuskan suatu mekanisme interferensi terhadap hormon sistem endokrin dalam mengatur karakteristik seksual sekunder untuk memproduksi sel kelamin. Efek nyatanya adalah suatu fenomena aneh berupa perubahan sel dan organ seksual,” ucap Agung.
Penjualan obat di Indonesia nilainya diperkirakan 4,4 juta dollar AS per tahun. Dengan begitu, kata Agung, perusahaan farmasi seharusnya bisa ikut berkontribusi memperbanyak pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
”Paradigma not in my backyard dalam membuang sampah harus diubah. Pengelolaan limbah harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu sampai ke hilir,” kata Agung.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Universitas Aix-Marseille, Perancis, Pierre Doumenq mengatakan, ekosistem maritim Indonesia tengah berada dalam tantangan yang berat. Ada banyak hal yang harus dilakukan, terutama untuk mengidentifikasi jenis pencemaran dan cara memulihkannya. Agung diharapkan bisa berperan banyak dalamm dua hal itu.
Secara khusus, Agung juga menyoroti perairan Kepri yang rawan tercemar oleh tumpahan minyak. Ia mencatat, rentang November 2018-Maret 2019 saja telah terjadi 23 kali tumpahan minyak di perairan sekitar Kabupaten Bintan.
Tumpahan minyak salah satunya paling sering terjadi di Pantai Lagoi, Bintan. Manager CSR Resor Banyan Tree Henry Singer mengatakan, tumpahan minyak biasanya terjadi saat musim angin utara pada November-Desember.
Pada 22 Oktober, Balai Riset dan Observasi Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan, meskipun tidak dalam jumlah besar, tumpahan minyak terlihat di perairan utara Bintan. Henry memprediksi, tumpahan minyak pada tahun ini tidak akan sebanyak tahun lalu karena lalu lintas kapal di Selat Malaka juga berkurang akibat Covid-19.
Pencemaran minyak di Bintan terjadi hampir setiap tahun sejak 1970-an dan kini cenderung meluas. Aparat di Kepri kesulitan menindak pelaku karena posisi kapal pelaku pencemaran minyak diduga berada di perairan internasional.
Sebagai perguruan tinggi, Agung mengakui, UMRAH belum berkontribusi banyak terhadap penanganan tumpahan minyak yang terjadi di sejumlah lokasi pesisir Kepri. Ia menginginkan, ke depan, teknologi penguraian limbah dengan menggunakan organisme mikro atau yang biasa disebut bioremediasi bisa lebih banyak dikembangkan oleh UMRAH.
Produk akhir dari bioremediasi dapat berupa air yang memenuhi baku mutu lingkungan dan produk padat yang nantinya bisa dipakai untuk bahan bangunan dan pupuk. Biaya bioremediasi di Indonesia berkisar Rp 293.000-Rp 440.000 per meter kubik bahan yang akan diolah.
Dampak pencemaran laut sudah dirasakan secara nyata oleh penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepri. Oleh karena itu, Pemimpin Redaksi Buletin Marine Pollution Francois Galgani mengatakan, sudah waktunya orang-orang harus mendengarkan saran dari ilmuwan seperti Agung untuk menghindari dampak kerusakan laut yang lebih dahsyat.