Ketimpangan Pemanfaatan Hutan Masih Jadi Persoalan Utama
Penurunan kualitas dan kuantitas hutan disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain konversi hutan menjadi infrastruktur, pembangunan wilayah, perkebunan, dan pertambangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan pengelolaan masih menjadi permasalahan utama pemanfaatan hutan di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di tanah Papua. Tren ketimpangan ini akan berlanjut jika tidak terdapat intervensi kebijakan dan transformasi kelembagaan untuk memastikan optimalnya pelayanan publik terhadap masyarakat lokal atau adat di Papua.
Analisis data yang dihimpun dari berbagai sumber kementerian atau lembaga menunjukkan, kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikelola adat di Papua hanya seluas 78.040 hektar. Angka ini sangat timpang dengan HPH dari korporasi yang tercatat seluas 5,5 juta hektar.
Secara ekonomi, pemanfaatan hutan tanpa disertai dengan kepastian hak-hak sumber daya hutan akan cenderung eksploitatif dan tidak ada pertanggungjawaban terhadap kelestarian hutan tersebut. (Hariadi Kartodihardjo)
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, persoalan pengembangan pengelolaan hutan selalu didasarkan pada hak-hak atas sumber daya hutan. Sebab, secara ekonomi, pemanfaatan hutan tanpa disertai dengan kepastian hak-hak sumber daya hutan akan cenderung eksploitatif dan tidak ada pertanggungjawaban terhadap kelestarian hutan tersebut.
”Demikian juga dengan kelembagaan masyarakat bisa diharapkan ke depan untuk mengembangkan ekonomi berbasis sumber daya alam. Namun, kita masih memiliki tantangan besar untuk mengembangkan kelembagaan masyarakat,” ujarnya dalam seminar daring yang diselenggarakan Lembaga Riset Kehutanan Internasional (Cifor), Sabtu (24/10/2020).
Menurut Hariadi, tren ketimpangan ini akan berlanjut jika tidak terdapat intervensi kebijakan dan transformasi kelembagaan untuk memastikan optimalnya pelayanan publik terhadap masyarakat lokal atau adat di Papua. Intervensi kebijakan perlu menjadi prioritas karena ketentuan saat ini yang membutuhkan peraturan daerah untuk mengelola hutan adat memperlama prosedur pemanfaatan hutan bagi masyarakat lokal.
Hariadi menegaskan, intervensi kebijakan dapat diperjuangkan melalui pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang saat ini masuk ke Program Legislasi Nasional DPR. Selain itu, perhutanan sosial juga bisa dilakukan penyederhanaan izin setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja resmi diberlakukan.
”Ini karena dalam RUU Cipta Kerja status perhutanan sosial bukan perizinan berusaha, melainkan berupa kegiatan dalam pengelolaan hutan. Ini bisa dimasukkan ke dalam perencanaan kesatuan pengelolaan hutan. Namun, untuk formalnya masih menunggu peraturan pemerintah turunan RUU Cipta Kerja,” tuturnya.
Cifor mencatat, hutan tropis Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat menyumbang 38,72 persen dari total luas hutan Indonesia. Namun, sampai saat ini luasan hutan di Papua masih mengalami penurunan. Dari data terakhir, luas hutan di Papua telah berkurang dari 42 juta hektar pada tahun 2009 menjadi 40 juta hektar pada tahun 2018.
Penurunan kualitas dan kuantitas hutan tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain konversi hutan menjadi infrastruktur, pembangunan wilayah, perkebunan, dan pertambangan. Penggunaan sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan, perambahan kawasan hutan, dan kurangnya jaminan tenurial juga berkontribusi pada deforestasi.
Atlas Papua
Peneliti Sistem Informasi Geografis dari Cifor, Agus Salim, mengatakan, masih tingginya penurunan kualitas dan kuantitas hutan membuat sejumlah korporasi besar menetapkan komitmen no deforestation atau menghindari deforestasi dalam kegiatan pengusahaannya. Komitmen ini juga dibuat karena tekanan dari konsumen hingga organisasi lingkungan hidup terhadap korporasi.
Guna memantau dan memonitor komitmen korporasi, khususnya di Papua, Cifor mengembangkan sistem bernama Atlas Papua. Sistem geo-platform daring ini memungkinkan untuk melihat dan mengukur perubahan tutupan lahan di Papua dari waktu ke waktu.
Atlas Papua dapat mengungkapkan lokasi perusahaan dalam melakukan pembukaan hutan untuk membangun perkebunan sawit, kayu pulp, dan tambang setiap tahun dalam rentang 19 tahun atau periode 2001-2019. Hal tersebut dilakukan dengan menggabungkan peta ekspansi perkebunan dan tambang yang diturunkan dari citra historis Landsat resolusi 30 meter dengan peta kehilangan hutan.
”Atlas disertai dengan peringatan kehilangan hutan secara dini yang memberikan informasi mengenai potensi kehilangan hutan secara real time dalam periode waktu yang tidak terlalu lama, yakni beberapa hari atau minggu. Peringatan dini ini memungkinkan pihak terkait untuk bereaksi lebih awal saat terjadi deforestasi,” ucapnya.