Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan kurikulum dan silabus untuk meningkatkan kapasitas negosiator Indonesia dalam kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan kurikulum dan silabus untuk meningkatkan kapasitas negosiator Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC. Selain memperkuat diplomasi internasional, upaya adaptasi di tingkat tapak juga terus didorong untuk mengantisipasi berbagai dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyampaikan, kurikulum dan silabus untuk meningkatkan kapasitas negosiator disusun oleh KLHK bersama Kementerian Luar Negeri. Isi dan poin-poin penting dari kurikulum tersebut nantinya akan dirilis pada awal November mendatang.
”Angkatan pertama pelatihan program capacity building bagi negosiator akan diikuti sekitar 30 orang. Setelahnya, akan ada angkatan-angkatan berikutnya untuk bisa mengikuti program tersebut. Program ini dikembangkan agar generasi muda bisa mewakili Indonesia untuk menegosiasikan kepentingan bangsa terkait isu perubahan iklim di tingkat global,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menjelaskan, peningkatan kapasitas negosiator menjadi sebuah kewajiban karena mereka memperjuangkan kepentingan bangsa. Salah satu hal yang diperjuangkan adalah komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 29 persen hingga 2030 sesuai target kontribusi nasional penurunan emisi gas rumah kaca sesuai Kesepakatan Paris (NDC).
”Ini penting karena Indonesia menjadi negara yang dianggap strategis, khususnya terkait dengan hutan tropis. Kontributor utama NDC kita itu dari sektor kehutanan dan tata guna lahan. Oleh karena itu, negosiator kita harus bisa menyampaikan informasi tersebut di forum internasional,” ujar Alue Dohong.
Ia menyatakan, dengan program peningkatan kapasitas ini, diharapkan negosiator bisa memberikan tekanan kepada negara maju untuk bersama-sama memberikan kontribusi dalam upaya menurunkan emisi sesuai NDC. Sebab, Pemerintah Indonesia menginginkan keadilan bahwa agenda perubahan iklim juga harus dilakukan negara maju dan negara berkembang.
Indonesia, menurut dia, menjadi salah satu negara yang cukup disegani di tingkat global karena pengaruhnya yang cukup kuat dalam perundingan perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan saat Indonesia mendorong negara-negara lain untuk mengintegrasikan isu laut ke dalam proses UNFCCC. Hasilnya, isu laut diakomodasi menjadi mandat untuk dibahas lebih lanjut dalam konferensi UNFCCC-COP ke-26 tahun ini.
Indonesia juga tercatat menempatkan dua orang negosiator untuk menduduki posisi pada beberapa badan di bawah UNFCCC, yakni di Compliance Committee Under Kyoto Protocol dan Alternate Member of the Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP).
Nilai emisi Indonesia
Selain menekan negara-negara maju, negosiator juga akan menyampaikan nilai emisi Indonesia dan capaian penurunannya kepada negara-negara lain. Berdasarkan inventarisasi, nilai emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2018 tercatat 1.637 megaton setara karbon dioksioda (MtonCO2e) atau 12,13 persen di bawah permodelan business as usual (BAU). Nilai emisi BAU 2018 mencapai 1.863 MtonCO2e.
Kehutanan menjadi sektor penyumbang emisi tertinggi hingga 723 MtonCO2e. Energi menjadi sektor terbesar kedua penyumbang emisi dengan 595 MtonCO2e, diikuti pertanian (131 MtonCO2e), limbah (127 MtonCO2e), serta proses industri dan penggunaan produk/IPPU (59 MtonCO2e).
Sementara pada akhir Agustus lalu, Indonesia juga mendapatkan dana dari skema pembayaran berbasis hasil senilai 103,78 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun dari Green Climate Fund (GCF). Dana ini diberikan sebagai bentuk keberhasilan Indonesia dalam program Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD+ yang mencapai 20,25 juta MtonCO2e pada 2014-2016.
Dari hasil penghitungan secara keseluruhan, pada 2013-2017 Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 210 juta ton setara karbon dioksida. Indonesia juga terverifikasi telah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 24,7 persen pada 2017. Angka penurunan emisi gas rumah kaca ini lebih besar daripada tahun 2016 yang mencapai 10,8 persen.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati mengatakan, selain mitigasi, upaya adaptasi juga perlu dilakukan untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Dari proyeksi yang telah disusun, Indonesia diperkirakan akan kehilangan angka kebutuhan hidup dasar yang setara dengan 2,87 persen produk domestik bruto (PDB) hingga 2030 jika perubahan iklim tidak segera ditangani.
Upaya adaptasi melalui program kampung iklim (proklim) didorong untuk terus ditingkatkan. Upaya adaptasi di tingkat tapak ini bertujuan meningkatkan literasi perubahan iklim sehingga seluruh pihak terdorong untuk mengambil peran aktif dalam melaksanakan aksi nyata. Saat ini terdapat 2.775 lokasi proklim di tingkat desa dan kelurahan yang telah didaftarkan melalui sistem registrasi nasional pengendalian perubahan iklim (SRNPPI).