Intensitas Gempa dan Laju Deformasi Gunung Merapi Meningkat
Intensitas kegempaan Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta selama beberapa waktu terakhir meningkat. Demikian halnya dengan laju deformasi yang terjadi di gunung api itu.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Intensitas kegempaan Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat selama beberapa waktu terakhir. Peningkatan aktivitas itu seiring laju deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Merapi. Namun, kubah lava di puncak Merapi disebut masih stabil dan material magma baru juga belum teramati.
”Intensitas kegempaan pada pekan ini lebih tinggi dibandingkan pekan lalu,” ujar Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida dalam laporan mingguan aktivitas Gunung Merapi, Jumat (23/10/2020) sore, di Yogyakarta.
Berdasarkan data BPPTKG, pada 16-22 Oktober 2020, Merapi mengalami 167 kali gempa embusan, 63 kali gempa vulkanik dangkal, 433 kali gempa fase banyak, 23 kali gempa frekuensi rendah, 170 kali gempa guguran, serta 16 kali gempa tektonik.
Sebelumnya, pada 9-15 Oktober 2020, Merapi mengalami 56 kali gempa embusan, 41 kali gempa vulkanik dangkal, 319 kali gempa fase banyak, 5 kali gempa frekuensi rendah, 67 kali gempa guguran, serta 10 kali gempa tektonik.
Dari data itu terlihat, jumlah gempa embusan di Merapi meningkat hampir tiga kali lipat, gempa frekuensi rendah meningkat lebih dari empat kali lipat, sedangkan gempa guguran meningkat dua kali lipat lebih.
Meski aktivitas kegempaan meningkat, Hanik menyatakan, kubah lava yang ada di puncak Gunung Merapi masih dalam kondisi stabil. Pada 18 Oktober 2020, BPPTKG telah mengambil foto udara area puncak Merapi. Namun, sebagian pemandangan yang diperoleh melalui foto tersebut tidak tampak jelas karena tertutup kabut.
Oleh karena itu, Hanik menuturkan, BPPTKG belum bisa menghitung secara pasti berapa volume kubah lava yang ada di puncak Gunung Merapi saat ini. ”Foto drone (pesawat tanpa awak) tanggal 18 Oktober 2020, sebagian tertutup kabut sehingga tidak diperoleh hasil perhitungan volume kubah lava,” katanya.
Meski begitu, BPPTKG memperkirakan, volume kubah lava di Gunung Merapi masih sama dengan perhitungan pada 26 Juli 2020, yakni 200.000 meter kubik. Selain itu, BPPTKG juga menyebut bahwa morfologi atau bentuk kubah lava di puncak Gunung Merapi belum berubah.
Hanik menambahkan, berdasarkan foto yang diambil menggunakan drone pada 18 Oktober juga tidak teramati material magma baru di puncak Merapi. Hal ini menunjukkan, aliran magma di dalam tubuh Gunung Merapi kemungkinan belum sampai ke permukaan.
Berdasarkan berbagai data tersebut, lanjutnya, status Gunung Merapi masih Waspada (Level II). Status Waspada itu telah ditetapkan BPPTKG sejak 21 Mei 2018. ”Aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih cukup tinggi dan ditetapkan dalam tingkat aktivitas Waspada,” ujarnya.
Berdasarkan foto drone pada 18 Oktober, tidak teramati material magma baru di puncak Merapi. Hal ini menunjukkan, aliran magma di dalam tubuh Gunung Merapi kemungkinan belum sampai ke permukaan.
Hanik menambahkan, hingga sekarang, potensi bahaya akibat erupsi Gunung Merapi masih sama seperti sebelumnya, yakni berupa awan panas akibat runtuhnya kubah lava dan lontaran material vulkanik akibat erupsi eksplosif. Meski begitu, BPPTKG masih menetapkan radius bahaya yang sama dengan sebelumnya, yakni 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi.
Sesuai pernyataan BPPTKG, masyarakat dilarang beraktivitas dalam radius 3 km dari puncak Gunung Merapi. Sementara itu, masyarakat yang berada di luar radius tersebut bisa beraktivitas seperti biasa.
”Radius 3 km dari puncak Gunung Merapi agar dikosongkan dari aktivitas penduduk dan pendakian,” ucap Hanik.
Aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih cukup tinggi dan ditetapkan dalam tingkat aktivitas Waspada.
Laju deformasi
Dalam laporannya, BPPTKG juga menyebutkan adanya deformasi atau perubahan bentuk tubuh Gunung Merapi. Deformasi itu terlihat dari adanya pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jateng.
Data BPPTKG menunjukkan, laju deformasi yang terjadi itu juga meningkat. Pada 16-22 Oktober 2020 terjadi pemendekan jarak tunjam sebesar 2 sentimeter (cm) per hari. Pemendekan jarak tunjam itu meningkat dibandingkan pemendekan yang terjadi pada 9-15 Oktober yang sebesar 1 cm per hari.
Pada 2-8 Oktober, pemendekan jarak tunjam yang teramati hanya mencapai 2 cm dalam tujuh hari atau sekitar 0,3 cm per hari. Sementara itu, pada 25 September-1 Oktober, pemendekan jarak tunjam yang teramati melalui EDM mencapai 3 cm dalam tujuh hari atau sekitar 0,43 cm per hari.
Pemendekan jarak tunjam yang terjadi itu menunjukkan adanya deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi. Makin besar pemendekan jarak, makin besar pula penggembungan yang terjadi.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso mengatakan, deformasi di Gunung Merapi itu mulai teramati setelah erupsi eksplosif pada 21 Juni 2020. Dia menyebut, deformasi itu teramati dari pos pengamatan Merapi di wilayah Babadan atau di sektor barat laut gunung api tersebut.
Agus menjelaskan, deformasi di sisi barat laut itu menunjukkan tekanan magma dari dalam tubuh Gunung Merapi di wilayah tersebut. Namun, BPPTKG belum bisa memastikan apakah magma dari dalam tubuh Gunung Merapi itu nantinya juga akan keluar di sisi barat laut.
”Dengan deformasi ini, wilayah barat laut menjadi lebih meningkat potensi ancaman bahayanya di waktu-waktu yang akan datang. Cuma ancaman bahaya ini belum nyata karena (magma) belum muncul di permukaan sehingga kami tetap menunggu data pemantauan,” kata Agus dalam webinar bertema ”Kabar Merapi Terkini”, Rabu (1/7/2020).