Indikator Biologis Berpotensi Digunakan untuk Penilaian Kondisi Perairan Darat
Indikator biologis dapat menjadi pilihan dalam penilaian kerusakan atau pencemaran pada perairan darat. Pendekatan ini relatif lebih mudah dan berjangka panjang dibandingkan indikator fisika dan kimia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Metode dan perangkat yang efisien untuk menilai kondisi aktual dan tingkat perubahan perairan darat perlu digunakan seiring peningkatan dampak antropogenik pada lingkungan. Salah satu yang dapat digunakan untuk penilaian ialah perangkat ekologis dengan memanfaatkan sejumlah indikator organisme di perairan darat.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ocky Karna Radjasa mengemukakan, peningkatan pertumbuhan penduduk dan percepatan ekonomi akan menambah tekanan terhadap perairan darat. Tekanan tersebut pada akhirnya akan memicu pencemaran perairan dan perubahan habitat sehingga meningkatkan kerusakan ekosistem perairan darat.
”Banyak sekali masukan limbah padat dari berbagai aktivitas baik industri, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Kondisi pandemi saat ini juga turut menyumbang terhadap tambahan limbah dari aktivitas karena Covid-19,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Ecological Tools dalam Penilaian Kesehatan Perairan Darat”, Rabu (21/10/2020).
Indonesia tercatat memiliki luas perairan darat 13.351.080 hektar. Total luas perairan darat tersebut terdiri atas 1.804.080 hektar danau alam dan buatan serta 11.947.000 hektar perairan sungai, rawa, dan lahan gambut.
Meski demikian, perairan darat khususnya sungai di Indonesia mayoritas tidak berada dalam kondisi yang baik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia dalam status tercemar berat, 32 persen tercemar sedang hingga berat, 14 persen tercemar sedang, dan 8 persen tercemar ringan. Kondisi sungai yang tercemar ini akan memengaruhi kriteria baku mutu kualitas air.
Seiring dengan meningkatnya bahaya antropogenik–sebuah dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia—terhadap perairan darat, maka perlu adanya perangkat yang efisien untuk menilai tingkat perubahan dalam ekosistem tersebut. Salah satu yang dapat digunakan ialah perangkat ekologis dengan memanfaatkan organisme di perairan tersebut.
”Metode fisika dan kimia dalam menilai tingkat perubahan belum efektif untuk memberikan perlindungan terhadap ekosistem perairan karena hanya mempresentasikan kondisi sesaat. Dengan demikian, metode biologi dapat menjadi pelengkap untuk menilai kerusakan lingkungan perairan yang biasanya berdampak pada organisme di dalamnya,” tutur Ocky.
Indikator makrozoobentos
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Jojok Sudarso, menjelaskan, perangkat ekologis untuk menilai kesehatan ekosistem sungai salah satunya dapat menggunakan indikator makrozoobentos. Makrozoobentos adalah hewan avertebrata yang tidak memiliki tulang belakang dan biasanya hidup di dasar perairan serta anggota dari banyak taksa mulai dari insekta atau serangga hingga moluska.
Indikator makrozoobentos dapat digunakan untuk menilai kesehatan ekosistem sungai karena organisme tersebut memiliki kemampuan untuk mencerminkan kualitas lingkungan dari taksa, toleransi polusi, atau grup fungsional. Makrozoobento juga menjadi komponen penting dalam rantai makanan. Tidak adanya makrozoobentos akan memengaruhi kehidupan dan keberlangsungan organisme lain seperti ikan.
Penilaian kesehatan sungai dengan indikator ini memiliki sejumlah keuntungan, antara lain adanya kekayaan spesies yang tinggi, siklus hidup kompleks, pengambilan sampel dan identifikasi relatif mudah, serta distribusinya yang luas. Namun, terdapat juga kerugiannya karena identifikasi makrozoobentos hingga level spesies membutuhkan verifikasi taksonom dan preparasi sampel kerap membutuhkan waktu yang lama.
Selain menilai kesehatan sungai, makrozoobentos juga dapat dimanfaatkan untuk penentuan umur dari post mortem atau data fisik untuk tujuan forensik bagi korban yang ditemukan meninggal di perairan. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk kajian perubahan iklim, evaluasi dampak antropogenik maupun cuaca, evaluasi program restorasi habitat, dan sumber pangan alternatif.
Ocky menyatakan, pemanfaatan perangkat ekologi dalam penilaian kesehatan perairan darat masih dapat dikaji dan dikembangkan lebih lanjut karena tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain itu, kondisi iklim tropis di Indonesia juga dapat mendukung upaya pengembangan perangkat ekologis di berbagai tipe perairan darat.
Kerusakan
Manager Pengembangan Program Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Daru Setyo Rini mengatakan, salah satu indikator sungai yang sehat ialah dapat mendukung tumbuh berkembangnya biota lokal dan memelihara kesinambungan proses utama sungai, seperti transportasi sedimen, siklus nutrisi, penguraian limbah, dan penyebaran energi.
Daru menyatakan bahwa tidak semua segmen sungai di Jawa memiliki sempadan sungai yang rusak. Bahkan, sempadan sungai di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua juga banyak yang masih dalam kondisi sehat. Namun, ia menyayangkan belum ada aturan dan kebijakan yang tegas dari pemerintah tentang status dan program perlindungan sempadan sungai.
Sempadan sungai yang masih sehat perlu segera ditetapkan sebagai kawasan lindung atau kawasan suaka ikan. (Daru Setyo Rini)
”Pemerintah cenderung membiarkan sempadan sungai diokupasi, dimanfaatkan tanpa izin, dan dijadikan tempat pembuangan sampah. Akan tetapi, tidak ada tindakan pemulihan dan perlindungan sempadan yang masih tersisa ini agar tidak dirusak. Oleh karena itu, sempadan sungai yang masih sehat perlu segera ditetapkan sebagai kawasan lindung atau kawasan suaka ikan,” tambahnya.