Pemerintah diminta memastikan keamanan dan khasiat vaksin Covid-19 sebelum nantinya vaksinasi massal. Karena vaksin tidak langsung mengatasi pandemi, maka tes, pelacakan kontak, dan isolasi mesti tetap dilakukan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pemerintah diminta tidak terburu-buru memberikan vaksin Covid-19 kepada masyarakat, sebelum uji klinis membuktikan keamanan dan efikasi atau kemanjurannya. Sambil menanti vaksin yang terbukti aman dan memiliki efikasi yang baik, upaya pengendalian wabah bisa dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan dan meningkatkan pemeriksaan spesimen, lacak, dan isolasi.
"Saat ini vaksin masih diuji klinis. Kenapa harus janjikan vaksin di tahun ini. Pemerintah seharusnya serius memperhitungkan aman atau tidaknya, bukan buru-buru mengimpor vaksin dan diberikan ke masyarakat sebelum ada kepastian keamanannya," kata epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dalam kelas pandemi yang diadakan Laporcovid19, secara daring, di Jakarta, Jumat (16/10/2020).
Menurut Pandu, alasan penggunaan vaksin untuk darurat kesehatan tidak bisa dibenarkan, mengingat risikonya yang tinggi. "Saya pendukung vaksin, tetapi vaksin yang aman, selain yang efikasinya baik. Kalau efikasinya rendah, di bawah 50 persen, kenapa harus dipaksakan," ujarnya.
Dia mencontohkan, vaksin yang sudah lolos uji klinis fase tiga juga bisa ditarik kembali saat digunakan secara luas di sejumlah negara. Sebagai contoh, vaksin demam berdarah dengue karena penggunaannya ternyata bisa menimbulkan dampak kesehatan yang serius.
Saat ini Universitas Padjadjaran (Unpad) tengah melaksanakan uji klinik fase tiga vaksin Sinovac dari China, yang rencananya diproduksi Biofarma. Menurut Ketua Tim Riset Uji Klinis Fase 3 Kandidat Vaksin Covid-19 dari Fakultas Kedokteran Unpad Kusnandi Rusmi, dalam diskusi terpisah, uji klinis ini baru akan selesai di awal tahun depan. Dia menegaskan, uji klinis tidak bisa dipercepat, karena harus dilakukan dengan hati-hati.
"Saya hanya bisa bertanggung jawab terhadap vaksin yang kami uji. Untuk vaksin yang akan diimpor pemerintah, itu di luar kami," katanya.
Tidak sistematis
Pandu mengatakan, meski nanti tersedia vaksin yang aman dan memiliki efikasi yang tinggi, hal itu tidak akan bisa menghentikan pandemi dengan seketika. "Ada komunikasi yang keliru, seolah pakai masker sampai ada vaksin. Padahal, setelah ada vaksin juga masih harus pakai masker dan jaga jarak, karena butuh bertahun-tahun untuk bisa melakukan vaksinasi secara luas," ujarnya.
Menurut dia, penanggulangan Covid-19 di Indonesia tidak dilakukan secara sistematis, tapi justru diserahkan lembaga ad hoc yang tidak memiliki kewenangan dan perangkat. "Dari awal harusnya Kementerian Kesehatan yang paling bertanggung jawab mengatasi pandemi ini dengan penekanan pada penguatan surveilans," katanya.
Faktanya, kemampuan surveilans di Indonesia amat buruk. Itu ditandai dengan rendahnya pemeriksaan dan pelacakan. Akibatnya, terjadi keterlambatan dalam menekan penularan dan kematian. "Menekan kematian itu jangan di rumah sakit, tetapi dengan menekan kasus di populasi. Jadi, kita salah pendekatan," katanya.
Pandu menambahkan, pemerintah seharusnya berinvestasi meningkatkan kapasitas tes dan pelacakan kontak. "Ada banyak bukti ilmiah bahwa surveilans bisa menurunkan kasus, selain mengubah perilaku masyarakat yang taat protokol kesehatan. Kalau pemerintah membuat road map dan peraturan pemerintah tentang vaksin, kenapa tidak ada roadmap tentang surveilans yang menjadi kelemahan kita," kata dia.
Belajar dari Thailand, surveilans dan layanan primer yang kuat, menjadi kunci kesuksesan mereka. Negara tetangga ini hanya memiliki kasus 3.669 dan total 59. Saat ini mereka sudah mulai memulihkan aktivitas, dengan penambahan kasus harian yang relatif kecil.
Sejak awal Thailand mengerahkan satu juta volunter kesehatan yang dikirim ke daerah untuk bekerjasama denganan layanan kesehatan primer. Mereka melakukan kampanye dari pintu ke pintu untuk promosi kesehatan, aktif melacak kasus, surveilans, membantu karantina, bahkan juga membagikan masker ke masyarakat.
Sementara itu, data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia terus bertambah sebanyak 4.301 sehingga total menjadi 353.461 orang. Sedangkan korban jiwa bertambah 79 orang sehingga total menjadi 12.347 orang.
Indonesia telah berada di peringkat ke-18 negara dengan jumlah kasus terbanyak, bahkan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dengan menggeser Filipina. Demikian halnya jumlah kematian di Indonesia juga menjadi yang paling banyak.
"Sampai saat ini kita belum menyelesaikan gelombang pertama, dan kemungkinan penambahan kasus masih akan tinggi karena mobilitas juga tinggi, apalagi nanti ada pilkada (pemilihan kepala daerah," kata Pandu.