Kekebalan Covid-19 Bertahan 5-7 Bulan, tetapi Reinfeksi Terus Terjadi
Para peneliti menemukan bahwa respons kekebalan tubuh terhadap SARS-CoV-2 dapat bertahan hingga tujuh bulan. Namun, di sisi lain, reinfeksi juga terus muncul. Masih banyak misteri menyelubungi Covid-19.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Respons kekebalan tubuh akibat Covid-19 diyakini tidak sesingkat yang dipercaya sebelumnya. Kekebalan bisa terjadi hingga 5-7 bulan. Namun, bukti terjadinya peristiwa reinfeksi Covid-19 terus bermunculan. Pengujian yang lebih luas menjadi kunci penanganan Covid-19.
Para peneliti dari Departemen Imunobiologi University of Arizona Amerika Serikat (AS) menyimpulkan hal ini setelah mengambil sampel antibodi dari 5.882 orang. Dari sampel tersebut didapatkan bahwa antibodi terus terdeteksi pada tubuh penyintas Covid-19 hingga 5-7 bulan setelah terinfeksi.
”Secara jelas kami melihat bahwa antibodi masih terus diproduksi tubuh dalam waktu lima hingga tujuh bulan pascainfeksi SARS-CoV-2,” kata salah satu pemimpin studi ini, Deepta Bhattacharya, associate professor di Departemen Imunobiologi University of Arizona, pada Selasa (13/10/2020) lalu.
Temuan ini sudah dipublikasikan pada jurnal medis terkemuka Immunity pada awal Oktober ini.
Temuan ini diharapkan menjawab sebagian kekhawatiran mengenai durasi imunitas terhadap Covid-19, mengingat sejumlah studi sebelumnya berkesimpulan bahwa kekebalan terhadap Covid-19 berlangsung singkat.
Bhattacharya berpendapat bahwa sejumlah studi tersebut hanya berfokus pada tahapan awal respons kekebalan tubuh dan tidak mempertimbangkan fenomena jangka panjangnya.
”Durasi terpanjang yang sejauh ini tercatat adalah tujuh bulan. Namun, kita juga tahu bahwa kekebalan terhadap virus SARS-CoV-1 ternyata masih bertahan hingga saat ini, 17 tahun kemudian, di penyintas SARS tahun 2003,” kata Bhattacharya.
Pada Mei 2020, pengajar bidang biokimia di Departemen Kedokteran Universitas of Washington AS, David Veesler, menemukan bahwa antibodi bernama S309 yang didapatkan dari seorang penyintas SARS tahun 2003 dapat menetralkan virus SARS-CoV-2. Penelitian ini sudah dipublikan dalam jurnal ternama Nature.
Reinfeksi Covid-19
Meskipun demikian, di tengah temuan yang menggembirakan ini, kasus reinfeksi Covid-19 terus terjadi. Kali ini, para peneliti dari Departemen Patologi dan Laboratorium Kedokteran University of Nevada AS menemukan bahwa seorang laki-laki berusia 25 tahun asal Nevada kembali terinfeksi Covid-19 dalam jangka waktu 10 hari setelah dinyatakan negatif dari tes RT-PCR.
Selain usia yang masih muda, yang mengkhawatirkan adalah, pasien tersebut justru mengalami gejala yang lebih parah saat terinfeksi untuk kedua kalinya. Pada infeksi pertama pada Maret-April, ia hanya mengalami gejala sedang, seperti nyeri tenggorokan, pusing, batuk, dan diare. Namun, pada kasus reinfeksi, ia bahkan sampai mengalami hipoksia dan membutuhkan oksigen.
Melalui pemetaan genom, para peneliti juga telah memastikan bahwa memang si pasien terinfeksi virus SARS-CoV-2 yang berbeda dan bukan reaktivasi virus lama yang sudah ada pada tubuh.
”Analisis genom dari sampel virus yang diambil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kasus infeksi pertama dan reinfeksi,” tulis Mark Pandori dan koleganya dalam hasil penelitian yang dipublikan pada jurnal medis The Lancet pada Senin (12/10) awal pekan ini.
Temuan ini, menurut para peneliti, memberikan implikasi yang besar terhadap pengembangan vaksin Covid-19 yang saat ini sedang berjalan.
”Ini artinya, terpaparnya seseorang terhadap SARS-CoV-2 tidak akan memberikan tingkat imunitas yang 100 persen melindungi. Ini akan mirip dengan influenza yang vaksin efektifnya sulit dikembangkan,” kata Pandori dan kawan-kawan.
Laki-laki Nevada ini adalah kasus keempat penyintas Covid-19 yang kembali terinfeksi dan benar-benar tercatat sebagai reinfeksi setelah sampel virus dipetakan genomnya dan dibandingkan dengan kasus reinfeksi pertama.
Sebelumnya, ada laki-laki Hong Kong berusia 33 tahun, perempuan asal Belgia (51), dan laki-laki asal Ekuador (46). Seluruhnya telah dipastikan melalui analisis genom bahwa terinfeksi oleh varian virus SARS-CoV-2 yang berbeda. Apa pengaruh kemunculan kasus reinfeksi ini terhadap penanganan pandemi Covid-19?
Langkah selanjutnya
Pakar imunobiologi terkemuka dari Yale University, Akiko Iwasaki, menilai, kemunculan kasus reinfeksi seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk menemukan secara persis korelasi antara munculnya antibodi dengan proteksi terhadap penyakit.
Iwasaki menilai, bervariasinya metode pengujian kekebalan dan perbedaan kekayaan data yang diambil oleh otoritas kesehatan di sejumlah negara mengenai setiap pasien akan menjadi tantangan.
Kasus reinfeksi ini juga menunjukkan bahwa keberadaan imunitas tidak serta-merta menunjukkan adanya proteksi. Karena pengujian yang cenderung berfokus pada kasus bergejala dan tidak dilakukan secara luas terhadap suatu populasi, akan sulit menemukan prevalensi reinfeksi yang sesungguhnya.
”Kasus asimtomatik hanya bisa diketahui melalui pengujian di tingkat komunitas atau melalui pengujian rutin di bandara, misalnya. Saya meyakini, jumlah orang yang asimtomatik jauh lebih besar dibandingkan yang terdeteksi saat ini,” kata Iwasaki melalui komentar ilmiahnya yang juga dipublikasikan di Lancet.
Namun, Iwasaki meyakini, perbedaan varian virus SARS-CoV-2 ini tidak menyebabkan vaksin yang dibutuhkan menjadi berbeda-beda juga. Mengutip studi sebelumnya, perbedaan varian ini masih tergolong minimal.