Stigma terkait Covid-19 dialami sejumlah penderita dan penyintas penyakit itu. Selain diusir dari tempat tinggal, mereka terancam kehilangan pekerjaan.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Wabah Covid-19 memang menular dan mematikan. Namun, stigma sosial bisa meninggalkan penderitaan berkepanjangan, seperti dialami Inriaty Karawaheni (54), perempuan asal Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Setelah kehilangan suami dan anaknya karena Covid-19, dia harus terusir dari rumahnya sendiri karena stigma.
Tanggal 27 April 2020, anak sulungnya, Berkatnu Indrawan (28), meninggal karena Covid-19. Dokter muda ini tertular saat bertugas di Rumah Sakit Soewandi, Surabaya, Jawa Timur, dan meninggal setelah menjalani perawatan. Dua bulan kemudian, pada 27 Juni 2020, suami Inriaty, Suriawan Pribandi, meninggal dengan gejala Covid-19 di salah satu rumah sakit di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Hingga meninggal, hasil tes almarhum memang belum keluar. Inriaty dan anak bungsungnya, Andika (18), juga menjalani tes usap dan harus menjalani isolasi mandiri. Keduanya tinggal di rumah keluarga di salah satu kompleks permukiman di Kota Palangkaraya.
”Tetangga depan rumah sudah saya kasih tahu bahwa kami menjalani isolasi mandiri dan hanya akan keluar rumah untuk ambil makanan kiriman dari saudara di pagar. Dia sepertinya bisa menerima situasi kami,” kisah Inriaty.
Namun, malam itu Irianty dihubungi pengurus rukun tetangga dan diinterogasi mengenai hasil tesnya. ”Saya jawab belum terima hasil, tetapi saya sudah mendapat tes rontgen dan darah, hasilnya bagus. Dia tidak percaya dan menuduh saya melarikan diri dari rumah sakit,” tuturnya.
Senin, 29 Juni 2020, pagi, Inriaty kembali menerima telepon dari pengurus RT. Tanpa basa-basi, dia dan anaknya diminta meninggalkan rumah. ”Dia bilang saya dan anak saya positif. Warga khawatir kami akan menularkan ke lingkungan. Entah dari mana dia dapat hasil tes saya, katanya dari puskesmas, padahal saya juga belum dapat,” ungkapnya.
Baru siang harinya Inriaty menerima hasil tes dari puskemas yang menyatakan dia dan anak bungsunya positif Covid-19. Sudah cukup kehilangan suami dan anak sulungnya, kini hidup mereka juga terancam. ”Saya berusaha tenang karena saya dan anak tidak merasa sakit. Walaupun tetap takut dan bingung, terutama karena diminta pergi dari rumah,” ujarnya.
Bukannya memberikan dukungan, RT kembali meneror dan meminta Inriaty segera pergi. Akhirnya, hari itu juga, dia mengajak anaknya meninggalkan rumah yang sudah ditinggali selama 20 tahun terakhir. Beruntung ada saudaranya yang meminjamkan rumah kosong yang jauh dari keramaian.
”Saya sedih sekali karena harus terusir dari rumah yang sudah kami tempati lebih dari 20 tahun ini. Kami orang pertama di kompleks itu,” katanya.
Kepanikan
Terusir dari tempat tinggal merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dipicu stigma sosial kepada penyintas Covid-19 di Indonesia. Kondisi ini pula yang dialami Budi (23), bukan nama sebenarnya, karyawan salah satu badan usaha milik negara yang menyewa kamar kos di Kota Depok, Jawa Barat.
Awalnya teman kos Budi, seorang perawat, diketahui positif Covid-19 dan dirawat di rumah sakit. Budi dan empat temannya lain, yang memiliki riwayat kontak dan mengalami gejala Covid-19, berinisiatif menjalani tes usap dengan metode reaksi berantai polimerase secara mandiri atau atas biaya sendiri.
Begitu mendapatkan hasil positif Covid-19, Budi langsung menyampaikan hasilnya ke pihak kos. Dia pun menghubungi puskemas terdekat hingga kantor keluarahan untuk meminta bantuan dicarikan tempat perawatan dan isolasi, tetapi tak ada respons. Dia juga menghubungi pusat layanan Covid-19 di Kota Depok hingga Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, tetapi hingga malam tidak ada tanggapan.
”Sakit saya tidak parah, tetapi saya butuh tempat isolasi. Saya tahu diri akan sulit kalau isolasi mandiri di kos karena kamar mandinya di luar. Khawatir akan menulari ke yang lain,” tuturnya.
Di tengah kebuntuan, pemilik kos memberi ultimatum agar Budi meninggalkan kos, paling telat keesokan hari. ”Saya stres, tidak tahu lagi harus ke mana. Keluarga saya di Kalimantan, saya sendirian di sini. Tidak mungkin juga nebeng ke teman kos lain,” katanya.
Saya stres, tidak tahu lagi harus ke mana. Keluarga saya di Kalimantan, saya sendirian di sini. Tidak mungkin juga nebeng ke teman kos lain.
Budi akhirnya menghubungi salah satu sukarelawan Laporcovid19, platform warga berbagi data dan informasi terkait Covid-19. Salah satu sukarelawan Laporcovid19, dokter Tri Maharani atau biasa dipanggil Maha, kemudian membantu Budi mencarikan rumah sakit. ”Malam itu saya menelepon Dinas Kesehatan Depok dan teman dokter UGD (Unit Gawat Darurat) salah satu rumah sakit. Pukul 01.30 dia dijemput dan dibawa ke rumah sakit,” kisah Maha.
Namun, cerita itu tidak berhenti di Budi. Hari berikutnya, berturut-turut teman-teman Budi yang juga menjalani tes mandiri keluar hasilnya dan juga positif. ”Yang dites semuanya positif. Itu dari hasil pemeriksaan mandiri semua, bukan dari hasil tracing,” kata Maha.
Jangankan aktif melakukan pelacakan riwayat kontak, puskesmas juga tidak bergerak membantu mereka yang sudah dinyatakan positif. ”Saya akhirnya bisa mencarikan satu tempat di Wisma Atlet. Puskesmas tinggal menyiapkan ambulans, tetapi ternyata tidak datang-datang," ujarnya.
Maha kembali menghubungi Dinas Kesehatan Depok dan meminta agar mereka turun tangan langsung. Akhirnya, pasien dijemput dan dibawa ke Wisma Atlet. ”Saya pernah mengalami Covid-19, tahu rasanya sakit dan berpikir tidak akan selamat lagi. Kalau ditambah dengan beban mental karena distigma lingkungan, pasti sangat berat rasanya,” kata Maha.
Pengalaman itu yang membuat Maha membangun jaringan sesama penyintas bersama sukarelawan Laporcovid19 lainnya. Selain membantu orang-orang yang mengalami stigma, Maha juga aktif memberikan dukungan moral, bahkan juga kerap mengirim makanan dan berbagai cendera mata kepada orang-orang yang tengah berjuang melawan Covid-19.
Beban ekonomi
Stigma terkait Covid-19 membuat penderitaan berkepanjangan secara psikis juga ekonomi. Bahkan, mereka yang sudah dinyatakan sembuh juga masih menanggung derita ini, seperti dialami Kristin dari Mojokerto.
”Sampai sekarang saya belum boleh kerja karena katanya orangtua murid akan khawatir kalau saya kembali bekerja. Padahal, anak-anak juga belum masuk. Kenapa orang yang pernah kena Covid-19 masih dianggap menakutkan, padahal saya sudah sembuh dua bulan lalu,” kata Kristin, yang bekerja sebagai pesuruh di salah satu sekolah swasta.
Stigma memang telah menjadi masalah sosial yang memperdalam dampak pandemi. Bahkan, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher, stigma telah menghambat upaya memutus penularan. ”Banyak orang yang menghindari tes dan tidak terbuka saat tertular. Ini tentu akan menghambat penanganan dan tracing,” katanya.
Maha mengatakan, stigma umumnya dipicu oleh ketakutan masyarakat yang berlebihan, termasuk bagaimana penularannya, selain ketidakpastian penanganan. ”Masyarakat tidak mendapat informasi utuh. Selain banyaknya hoaks juga tidak ada edukasi masif untuk meluruskan informasi yang salah, bahkan ada tokoh ikut menyebarkan info keliru, misalnya rumah sakit meng-Covid-kan pasien,” kata Maha.
Covid-19 memang mematikan dan mengharuskan kita menjaga jarak fisik. Namun, wabah ini seharusnya bisa mendekatkan kita secara sosial. Kebersamaan dan saling menguatkan itulah yan bisa menjadi benteng terakhir kita menghadapi pandemi ini.