Aturan Turunan bagi Pembela Lingkungan Kembali Ditagih
Ancaman terhadap pembela lingkungan masih terus terjadi meski aktivitas mereka dilindungi undang-undang. Janji pemerintah untuk menerbitkan aturan yang operasional dan implementatif kembali ditagih.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki undang-undang atau ketentuan yang memberikan perlindungan bagi pembela hak asasi manusia yang memperjuangkan isu lingkungan. Namun, pada kenyataannya, ketentuan tersebut masih terbatas dan lemah. Berbagai kalangan mendorong agar dibuat aturan turunan yang operasional agar memberikan kepastian terhadap penindakan hukum.
Kepala Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, mengatakan, saat ini belum terlihat adanya upaya serius dari negara untuk menguatkan aturan guna melindungi pembela HAM pada sektor lingkungan. Di sisi lain, ancaman regulasi justru terus-menerus memproduksi pelemahan HAM dan lingkungan.
”Cara menyingkirkan masyarakat adat atau pembela lingkungan ini sudah bisa dilakukan hanya dengan dibuat undang-undang,” ujarnya dalam dialog publik bertajuk ”Menakar Komitmen Perlindungan Negara bagi Pembela Lingkungan Hidup dan HAM” yang diselenggarakan Walhi Nasional, Selasa (13/10/2020).
Perlindungan terhadap pembela HAM sektor lingkungan telah tertuang di sejumlah aturan, salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 66 menyebutkan, kelompok masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Aturan pelaksana Pasal 66 juga direncanakan diturunkan dalam bentuk peraturan menteri. Namun, aturan pelaksana untuk mencegah dan menangani tindakan pembalasan atau dikenal dengan istilah anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) tersebut sampai saat ini tidak kunjung diterbitkan.
Selain UU No 32/2009, aturan tentang perlindungan hukum bagi pembela HAM sektor lingkungan juga tertuang dalam Pasal 58 Ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perlindungan hukum tersebut didapat saat proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
Sementara dalam konteks yang lebih umum, ketentuan dalam Pasal 10 UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga dapat digunakan untuk melindungi para pembela lingkungan yang dikriminalisasi. Pasal tersebut menyatakan bahwa saksi, korban, saksi pelaku, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata.
Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Susilaningtias, mengatakan, Pasal 66 UU No 32/2009 dan Pasal 10 UU No 31/2014 dinilai sudah cukup untuk melindungi pembela HAM yang dikriminalisasi. Menurut dia, yang saat ini diperlukan adalah aturan turunan dari pasal tersebut yang lebih rinci dan detail sehingga memberikan kepastian terhadap penindakan hukum.
”Tidak semua aparat penegak hukum paham terkait tindak pidana lingkungan hidup ataupun hak asasi manusia. Bisa jadi problemnya adalah mindset dari aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Sebab, selama ini kita selalu berorientasi pada tuntutan kewajiban dan kesejahteraan ekonomi, bukan pada keadilan atau pemenuhan hak,” tuturnya.
Aturan turunan untuk menguatkan penindakan ini perlu dibuat karena selama ini tercatat masih banyak kasus kriminalisasi terhadap pembela lingkungan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat, pada 2019, terdapat 127 individu dan 50 kelompok pembela HAM sektor lingkungan yang menjadi korban kekerasan.
Sementara berdasarkan jumlah aduan yang diterima Komisi Nasional HAM, terdapat puluhan kasus serangan dan ancaman kepada para pembela HAM pada periode 2015-2019. Bentuk serangan dan ancaman itu di antaranya kriminalisasi, perusakan, pembubaran kegiatan, pengusiran, pembakaran, dan kekerasan yang berakibat kematian.
Evaluasi konstitusi
Herlambang menilai, penerbitan undang-undang baru yang lebih khusus dan spesifik memang dapat menguatkan perlindungan untuk pembela lingkungan. Namun, dalam konteks kuatnya oligarki saat ini, pilihan yang dapat dilakukan adalah mengevaluasi semangat konstitusi dan keadilan di Indonesia.
”Rakyat yang selama ini tidak cukup terlindungi situasinya, baik hak asasi manusia maupun lingkungan hidup, dapat menagih hak-hak konstitusional yang hilang. Selain itu, kita juga harus memastikan bekerjanya penegakan hukum. Ini tidak hanya melibatkan polisi dan pengadilan, tetapi juga lembaga-lembaga negara lain,” katanya.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati. Ia menilai, tidak adanya keadilan transisional membuat Indonesia terus berkutat pada permasalahan dan konflik yang sama selama puluhan tahun, yakni pelanggaran HAM ataupun penghilangan ruang hidup masyarakat.
”Kita perlu ingatkan pemenuhan (penegakan dan perlindungan HAM) ini belum dilaksanakan karena konflik-konflik yang ada saat ini banyak sekali kaitannya dengan ketimpangan penguasaan struktur agraria dan lingkungan hidup,” ujarnya.