Stigma Menjadikan Covid-19 Lebih Berbahaya
Stigma menjadikan Covid-19 lebih berbahaya. Selain menimbulkan beban psikologis terhadap pasien dan penyintas penyakit itu, stigma juga menghambat penanganan pandemi.
Stigma terkait Covid-19 telah terjadi di Indonesia sejak kasus pertama diumumkan pada awal Maret 2020, bahkan terus meluas. Tidak terbangunnya komunikasi yang tepercaya dan lemahnya edukasi kepada publik turut memicu kuatnya stigma terkait penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu.
Padahal, selain menjadi masalah sosial yang menyebabkan kecemasan dan depresi, stigmatisasi juga mempersulit upaya memutus rantai penularan. Para penderita, penyintas, dan tenaga kesehatan mengalami beragam stigma terkait Covid-19, antara lain digunjingkan, dijauhi lingkungan sekitar, dan diusir dari tempat tinggalnya.
Korban stigma sosial terkait Covid-19 mulai dari orang-orang yang diduga terinfeksi, pasien terkonfirmasi, tenaga kesehatan, hingga keluarga mereka. ”Banyak orang menolak diperiksa dan tidak mau terbuka karena lebih takut stigma. Covid-19 sudah dianggap sebagai aib,” kata Akmal Taher, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), di Jakarta, Minggu (11/10/2020).
Akmal sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, tetapi mengundurkan diri pada bulan lalu. ”Saat masih di Satgas, saya usulkan agar serius mengatasi soal stigma ini. Salah satunya dengan memperkuat puskesmas sebagai ujung tombak tracing dan edukasi masyarakat,” ujarnya.
Munculnya stigma terkait Covid-19 menunjukkan buruknya literasi kesehatan, yang sebenarnya telah terjadi sejak lama. ”Stigma terhadap HIV/AIDS, kusta, dan penyakit menular lain merupakan persoalan lama di Indonesia. Bahkan sampai sekarang stigma terhadap HIV juga masih terjadi,” kata Akmal, yang pernah menjadi Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2013-2015.
Baca juga : Jerat Stigma Penyintas Covid-19
Di negara lain, seperti Thailand, persoalan stigma ditangani dengan serius sejak sebelum pandemi. ”Di sana, dulu stigma terkait HIV juga tinggi, tetapi sekarang tidak ada lagi. Stigma terkait Covid-19 juga tidak separah di Indonesia,” ujarnya.
Banyak orang menolak diperiksa dan tidak mau terbuka karena lebih takut stigma. Covid-19 sudah dianggap sebagai aib.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dan inisiator Laporcovid-19, menuturkan, karena takut stigma, banyak warga menyembunyikan statusnya kalau positif Covid-19. Situasi diperparah dengan ketidakjelasan penanganan pasien, termasuk keterlambatan proses pemeriksaan dan buruknya respons layanan kesehatan terdekat.
”Laporcovid-19 menerima banyak keluhan warga, termasuk anak-anak kos di Depok yang diusir karena positif Covid-19, sementara puskesmasnya tidak mau membantu mencari tempat isolasi dan perawatan,” kata Irma.
Contoh lainnya, pasien perempuan berumur 62 tahun dengan gejala sakit dipulangkan dari rumah sakit sembari menunggu hasil tes usap (swab). Ibu ini menjalani isolasi mandiri dengan mengontrak rumah di daerah Tangerang Selatan, Banten, tanpa melapor ke lingkungan setempat mengenai kondisinya. Tiga hari kemudian, ibu ini meninggal dan hasil tesnya positif Covid-19.
Irma menambahkan, dia kemudian berkoodinasi dengan Dinas Kesehatan Tangsel untuk penjemputan dan penanganan sesuai protokol Covid-19. ”Namun, jenazah sudah dibawa keluarga ke kota asal, Surabaya. Hal ini tentu bisa berisiko menularkan selama membawa jenazahnya,” ujarnya.
Bentuk stigma
Hasil survei Laporcovid-19 bersama Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi UI menunjukkan, mereka yang pernah dan sedang terpapar atau penyintas Covid-19 di Indonesia telah mengalami stigma.
Baca juga : Stigma Perburuk Penularan
Adapun stigma yang dialami, antara lain, menjadi buah bibir atau digosipkan sebanyak 55,25 persen, dijauhi 33,15 persen, dijuluki penyebar virus 24,86 persen, dirundung di media sosial 9,39 persen, dan ditolak saat menggunakan layanan fasilitas umum 4,42 persen.
Bentuk stigma lainnya ialah dibiarkan tidak mendapat bantuan 4,42 persen, diusir dari tempat tinggal 3,31 persen, diberhentikan dari tempat kerja 0,5 persen, dan sisanya menjawab lain-lain.
Dicky Pelupessy, tim peneliti yang juga dosen Fakultas Psikologi UI, mengatakan, survei dilakukan secara daring pada Agustus 2020 dan diikuti oleh 181 responden. Dari kalangan tenaga kesehatan sebanyak 56,35 persen dan lainnya bekerja sebagai guru, pekerja harian, buruh, pelajar, TNI-Polri, dan lain-lain.
Stigma ini dialami oleh penyintas, terutama sejak ditetapkan sebagai pasien Covid-19, mencapai 39,78 persen, saat masih menjadi suspek 26,52 persen, saat memeriksakan ke fasilitas kesehatan 12,71 persen, setelah sembuh 12,71 persen, dan mendapat perawatan 8,9 persen.
Menurut Dicky, implikasi stigma bagi pasien ini tergolong serius. Sebanyak 66,3 persen mengalami gangguan depresi kategori rendah dan 33,7 persen depresi kategori tinggi. Dampaknya, sebanyak 78,4 persen mengalami gangguan kecemasan kategori rendah dan 21,5 persen mengalami kecemasan skala tinggi.
Baca juga : Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
Mereka yang mengalami depresi kategori berat yang mengalami 9 dari 12 gejala, antara lain, tidak bisa konsentrasi, sulit tidur, sulit membuat keputusan, merasa di bawah tekanan, hilang kepercayaan diri, dan merasa tidak bahagia. Sementara kategori sedang mengalami 4 sampai 8 gejala.
”Ini bisa berpengaruh dalam jangka panjang bagi korban dan mengganggu produktivitas mereka. Apalagi banyak yang masih mengalami stigma sekalipun sudah dinyatakan sembuh. Depresi berat berisiko mengalami gangguan kesehatan jiwa yang perlu ditangani oleh layanan kesehatan jiwa dan profesional kesehatan jiwa,” tuturnya.
Di kalangan tenaga kesehatan, stigma telah menjadi masalah sangat serius. Herni Susanti, dosen keperawatan jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan UI, mengatakan, stigma yang dialami perawat dan keluarganya berkontribusi memicu terjadi kecemasan dan depresi dengan berbagai gejalanya. Bahkan, ada yang kepikiran untuk mengakhiri hidup.
Survei yang dilakukan terhadap 1.172 perawat menunjukkan, semua reponden merasakan stigmatisasi, sebanyak 26 persen merasakan stigma yang tinggi dan 74 persen merasakan stigma rendah. ”Stigmatisasi yang mereka alami ini sangat berat di tengah tekanan pekerjaan yang meningkat,” ujarnya.
Berbagai bentuk stigma yang dialami itu, antara lain, orang-orang sekitar menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga mereka dikucilkan, dilarang menikahi mereka, dan ancaman diceraikan oleh suami atau istri.
Akar masalah
Herni mengatakan, berdasarkan studi lanjutan dengan pendekatan kualitatif, ditemukan adanya pergeseran bentuk stigma ke perawat. ”Pengusiran berkurang, mungkin karena perawat mulai membatasi diri saat berinteraksi dengan lingkungan. Namun, stigma di masyarakat makin meluas karena kasus meningkat juga,” ujarnya.
Tri Maharani, dokter emergensi dari Kediri, Jawa Timur, yang juga menjadi penyintas Covid-19, mengatakan, stigma bentuk baru terhadap tenaga kesehatan ini menguat setelah beredar informasi rumah sakit memanipulasi data korban meninggal. ”Terutama setelah ada pejabat beberapa waktu lalu menyampaikan hal ini kepada publik. Kami dihujat dan dirundung, dan akhirnya merusak kepercayaan kepada tenaga kesehatan, juga merugikan penanganan terhadap Covid-19,” katanya.
Selain mempersulit upaya memutus rantai penularan, sikap masyarakat yang menyembunyikan kondisinya atau bahkan menolak dites juga bisa menyebabkan keterlambatan penanganan. ”Saat ini, masyarakat takut ke rumah sakit. Salah satu alasannya, mereka takut di-Covid-19-kan,” kata Tri Maharani.
Baca juga : Empati Semakin Penting untuk Pasien Covid-19
Menurut Tri, simpang siur informasi ini harusnya tidak boleh terjadi. ”Jika ada oknum, tangkap saja. Jangan jadikan ini permainan politik pendataan. Jangan menambah beban kami,” tuturnya.
Dicky mengatakan, simpang siur informasi dan komunikasi yang buruk merupakan penyebab utama maraknya stigma di Indonesia. Rasa cemas dan khawatir merupakan mekanisme psikologis dasar, terutama menghadapi penyakit baru yang belum ada obatnya.
Untuk mengatasi hal ini, harusnya ada edukasi masif tentang apa itu Covid-19, bagaimana penularannya, dan mencegahnya, termasuk pentingnya memberi dukungan kepada orang yang tertular. Pelibatan tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya publik menjadi sangat penting dalam edukasi ini. ”Ini yang masih belum terlihat karena stigma belum dianggap masalah serius,” kata Dicky.
Menurut Akmal, proses komunikasi pemerintah searah dan belum pernah diukur dampaknya kepada masyarakat. ”Saat saya masih dirjen di Kemenkes, sudah ribut terus soal komunikasi dan literasi kesehatan ini. Ada program sosialisasi dan promosi kesehatan, tetapi tak pernah diaudit, apakah sampai ke masyarakat dan bagaimana itu dipersepsikan. Pandemi seharusnya jadi pelajaran bagi kita untuk serius mengatasi soal stigma melalui literasi kesehatan,” tuturnya.