Masyarakat di desa gambut agar melek hukum mengingat potensi sangkaan pelanggaran hukum atas kerusakan gambut maupun tumpang tindih lahan dengan berbagai peruntukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat di wilayah desa peduli gambut mengalami banyak permasalahan hukum termasuk sangkaan pembakaran lahan gambut. Oleh karena itu, pembentukan paralegal masyarakat gambut sangat penting untuk meningkatkan pendidikan dan penyadaran hukum kepada masyarakat di desa peduli gambut.
Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna A Safitri mengakui bahwa masyarakat yang memperjuangkan lingkungan lebih banyak berisiko terjerat hukum atau kriminalisasi. Namun ironisnya, pengetahuan hukum di masyarakat sangatlah terbatas.
“Pentingnya memberikan pendampingan hukum ini tidak hanya karena persoalan kerentanan terhadap kebakaran hutan lahan, tetapi juga ada situasi tertentu di wilayah 1.205 desa peduli gambut yang di dalamnya adalah areal yang tumpang tindih dengan areal konsesi maupun konservasi,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Desa Gambut Membangun Hukum” yang diselenggarakan Kemitraan, Kamis (8/10/2020).
Myrna menjelaskan, pihaknya memfasilitasi pembentukan paralegal komunitas pada desa-desa peduli gambut. Pembentukan ini juga berangkat dari kondisi minimnya pemberi dan pendamping bantuan hukum di masyarakat.
Saat ini telah terbentuk 759 paralegal masyarakat gambut yang tersebar di tujuh provinsi program desa peduli gambut. Jumlah terbanyak berada di Kalimantan Tengah dengan 205 paralegal disusul Kalimantan Barat (135), Sumatera Selatan (126), Riau (102), Jambi (80), Kalimantan Selatan (71), dan Papua (40). Proporsi paralegal masyarakat gambut ialah 88 persen laki-laki dan 12 persen perempuan.
Paralegal telah memberikan bantuan hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomo 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Bantuan hukum tersebut dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, konsultasi, investigasi perkara, penelitian, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan, hingga perancangan dokumen hukum.
Selain paralegal, kata Myrna, BRG juga memiliki mekanisme pengaduan termasuk ketika ada hal yang berpotensi menjadi masalah hukum. BRG mencatat, upaya resolusi konflik berupa mediasi dan negosiasi di tingkat tapak melalui peran paralegal memiliki persentase sebesar 65,22 persen. Sementara 34,78 persen tindak lanjut penyelesaian konflik dilakukan melalui pengaduan yang langsung masuk ke BRG.
“Larangan pembakaran lahan tidak hanya bisa dijawab dengan menyediakan pendampingan atau pemberdayaan hukum kepada masyarakat. Oleh sebab itu, kami juga membangun sekolah lapang bagi petani gambut. Paralegal dan sekolah lapang menjadi dua sisi mata uang yang saling berkaitan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Epistema Institute Asep Yunan Firdaus mengatakan, paralegal dari Epistema Institute telah mendampingi 152 kasus yang meliputi overlap atau tumpang tindih tanah, sertifikat tanah, kerusakan lingkungan, perhutanan sosial, hingga kebakaran lahan. Hasil survei evaluasi peran juga menyatakan bahwa masyarakat puas terhadap peran paralegal dalam mendampingi sejumlah kasus hukum lingkungan.
“Paralegal dipandang sangat bermanfaat dan dibutuhkan minimal untuk tempat bertanya, mengadu, dan menjadi pendamping. Masyarakat juga meminta agar jumlah paralegal ditambah karena ada banyak permintaan di desa-desa,” tuturnya.