Sejumlah organisasi masyarakat sipil menemukan dugaan pelanggaran komitmen nol deforestasi pada konsesi hutan tanaman industri.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen nol deforestasi atau penerapan kebijakan perlindungan hutan perlu ditegaskan semua perusahaan berbasis sumber daya alam di hutan. Perusahaan juga diminta mengumumkan rencana pengelolaan yang bertanggung jawab untuk melindungi hutan alam yang masih tersisa.
Berdasarkan laporan yang disusun Yayasan Auriga Nusantara sejak Juni 2015 hingga Agustus 2020, salah satu perusahaan pulp (bubur kertas) dan kertas terbesar kedua di Indonesia, yakni Grup April, diduga melanggar komitmen nol deforestasi yang dibuatnya sendiri dengan membeli bahan baku kayu dari PT Adindo Hutan Lestari (AHL).
Temuan ini dibantah Grup April. Korporasi tersebut menyebutkan bahwa perusahaan AHL justru mengonservasi 47 persen areal konsesinya.
Komitmen untuk menghentikan penebangan hutan alam dan perusakan lahan gambut sebelumnya dibuat Grup April dan Royal Garden Eagle (RGE) International Group sebagai perusahaan induk sejak 3 Juni 2015. Komitmen jangka panjang itu tertuang dalam sustainable forest management policy (SFMP).
Peneliti Yayasan Auriga Nusantara Syahrul Fitra dalam diskusi daring, Selasa (6/10/2020), menjelaskan, berdasarkan analisis yang dilakukan selama lima tahun, Auriga melihat adanya kegagalan komitmen nol deforestasi yang dikemukakan Grup April. Hal ini karena diduga terdapat 7.291 hektar hutan alam yang dihancurkan di dalam konsesi izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) milik PT AHL selama kurun waktu tersebut.
Selain itu, laporan Auriga juga menyebut lebih dari 50 persen deforestasi ini terjadi di kawasan yang ditetapkan sebagai nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) dalam penilaian HCV 2014 yang dilakukan Yayasan Tropenbos. Setengah dari luas deforestasi juga terjadi di lahan gambut yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari sisi deforestasi selama periode 2015-2019, Grup April setidaknya tercatat membeli lebih dari 2,3 juta meter kubik kayu dari PT Adindo Hutan Lestari. Kayu ini kemudian dipasok ke perusahaan Grup April yang ada di Riau.
”Saya tidak ingin mengatakan deforestasi ini perbuatan melanggar hukum karena hal ini bukan suatu kejahatan jika dilakukan di wilayah konsesi. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah April telah mengklaim ke publik bahwa mereka tidak menerima lagi kayu dari hutan alam. Namun, PT Adindo Hutan Lestari melakukan deforestasi dan memasok kayu ke April,” tuturnya.
Berkaca dari hasil temuan tersebut, Auriga dan koalisi Antimafia Hutan meminta pihak perusahaan menghentikan seluruh deforestasi dan pengembangan di lahan gambut dalam areal konsensi HTI. Sementara Grup April juga harus menerapkan sepenuhnya komitmen nol deforestasi sesuai kerangka kerja keberlanjutan industri kehutanan.
Selain itu, perusahaan perlu mengumumkan rencana pengelolaan yang bertanggung jawab untuk melindungi hutan alam yang masih tersisa dan merestorasi seluruh hutan terdegradasi maupun ekosistem gambut di areal konsesi.
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mencatat, April Grup dianggap telah menghancurkan hutan alam di Riau sejak 2007. Saat itu, tujuh anak perusahaan April Grup menjadi tersangka kasus pembalakan liar. Sebagian perusahaan yang menjadi tersangka itu juga terlibat korupsi kehutanan bersama Bupati Pelalawan dan Bupati Siak.
Menepis
Dihubungi terpisah, Corporate Affairs Director Grup April, Agung Laksamana menepis hasil laporan Auriga yang menyebut bahwa pihaknya telah melanggar komitmen nol deforetasi yang tertuang dalam SFMP. ”Kami menanggapi klaim apa pun terkait deforestasi secara serius, termasuk pengecekan kebenaran di lapangan. Kami dapat menegaskan bahwa tidak ada deforestasi ataupun pelanggaran atas komitmen kebijakan SFMP 2.0 kami,” ujarnya.
Agung menjelaskan, berdasarkan hasil asesmen HCV ini, PT AHL saat ini melakukan konservasi atas 89.181 hektar lahan atau 47 persen dari keseluruhan luas area konsesinya. Angka ini hampir dua kali lipat dari luas area yang dikembangkan untuk penanaman, yaitu total seluas 50.388 hektar atau hanya 26 persen dari area konsesi.
Ia pun menyatakan, area penanaman tersebut tidak ada yang terletak di area HCV yang telah diidentifikasi. Hal ini dibuktikan melalui analisis atas peta asli HCV serta perbandingan antara peta-peta yang menunjukkan area HCV dan area konservasi pada 2015 serta 2020 yang didasarkan pada analisis penginderaan jarak jauh
Selain itu, kegiatan penyiapan lahan untuk keseluruhan 8.387 hektar perkebunan telah selesai sebelum 15 Mei 2015. Dari 8.387 hektar tersebut, seluas 6.058 hektar digolongkan sebagai gambut dan tidak berada di area puncak kubah gambut yang dilindungi.