Kedai-kedai kopi di tingkat tapak diyakini bisa meningkatkan kualitas kopi dari petani lokal. Petani bisa merasakan dan belajar untuk meningkatkan kualitas penanganan kopi agar lebih baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumbuhnya kedai-kedai kopi di tingkat desa atau kampung terus didorong untuk meningkatkan pengolahan sehingga petani dapat mengetahui kualitas kopi yang dipanen. Perubahan pola konsumi kopi di tingkat kampung ini juga bertujuan menjaga terserapnya komoditas dari petani.
Kelompok barista difabel Kaoem Telapak Andri Wijaya dalam diskusi daring bertajuk ”Mari Bicara Kopi”, Sabtu (3/10/2020), mengemukakan, terus didorongnya pertumbuhan kedai-kedai kopi di tingkat kampung berangkat dari kondisi para petani di sejumlah daerah yang hanya mengetahui cara menjual biji kopinya.
Meski demikian, hal tersebut berbanding terbalik dengan pengetahuan petani tentang cara menikmati dan menilai kualitas kopi. Padahal, potensi ekonomi kopi Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia sehingga petani harus bisa menjadi penyaring suatu biji kopi dengan kualitas dan cita rasa yang baik.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Indonesia menjadi negara terbesar keempat sentra produksi keempat dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Hal ini juga menjadikan negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, sebagai eksportir kopi dunia.
Sementara Organisasi Kopi Internasional (ICO) mencatat, produksi kopi di Indonesia pada 2019 sebanyak 565.000 ton dan konsumsi kopi di dalam negeri menembus 288.000 ton. ICO juga menyebutkan, tingkat konsumsi kopi Indonesia tumbuh 44 persen dalam 10 tahun terakhir (Oktober 2008-September 2019).
Salah satu upaya yang dilakukan Andri untuk meningkatkan ekonomi komunitas dengan memanfaatkan potensi lokal adalah dengan membentuk Rumah Belajar (Rube) sebagai pusat pendidikan dan pelatihan bagi para petani. Upaya ini juga bertujuan mendorong perubahan tata konsumsi di tingkat lokal.
”Kami menginginkan masyarakat di lokal bisa menikmatinya kopinya dengan kualitas yang sama seperti di kota-kota sehingga kami mendorong tumbuhnya kedai ini. Sampai sekarang kedai yang didirikan bisa bersaing dan pada akhirnya dapat menjaga terserapnya komoditas dari petani,” ujarnya.
Selain pertumbuhan kedai di tingkat lokal, peningkatan kopi bersertifikat juga dapat meningkatkan daya saing. Secara terpisah, Ketua Kelompok Peneliti Pascapanen dan Agroindustri Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Diany Faila Sophia Hartatri menyebut, sertifikasi dapat membuat kopi berharga lebih tinggi karena kualitas dan tata kelola yang memperhatikan faktor-faktor lingkungan, seperti perubahan iklim.
Sertifikasi kopi yang populer di kalangan konsumen terdiri dari organik, perdagangan setara (fair trade), Rainforest Alliance, dan The Common Code for the Coffee Community (4C). Peminat kopi bersertifikasi berasal dari Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Menurut publikasi International Trade Center pada 2018, proporsi kopi bersertifikasi pada 2009 sebesar 8 persen dari seluruh produk kopi di dunia. Angka ini tumbuh menjadi 25,8 persen dari seluruh kopi yang diproduksi di dunia pada 2018. Produk kopi Indonesia yang bersertifikasi dengan prinsip-prinsip lingkungan, ekonomi, dan sosial berkisar 11,1 persen (Kompas, 2/10/2020)