Sawit di Kawasan Hutan Diselesaikan melalui ”Omnibus Law”
Mayoritas sawit ilegal dalam kawasan hutan tak bisa diselesaikan karena kendala regulasi. Pemerintah menyatakan rancangan UU Cipta Kerja dan turunan peraturan pemerintah menjadi dasar penyelesaiannya.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan kebun di kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar akan diselesaikan melalui penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah. Langkah ini dinilai membuang waktu karena pemerintah sebenarnya bisa menyelesaikan persoalan yang telah berlarut-larut ini apabila memiliki ketegasan dan transparansi dalam pelaksanaannya.
Pemakaian sawit di kawasan hutan tanpa izin atau tanpa dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan ini ditemukan saat pelaksanaan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut Inpres Moratorium Sawit. Inpres yang berisi perintah presiden untuk menghentikan pemberian izin sawit di kawasan hutan, evaluasi perizinan sawit, dan peningkatan produktivitas sawit ini berlaku hingga September 2021.
Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dodi Slamet Riyadi, Rabu (30/9/2020), dalam diskusi daring Tandan Sawit 18 yang digelar Sawit Watch, menjelaskan, hasil pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit di antaranya mendapatkan 16,38 juta ha luas tutupan sawit di Indonesia. Luasan ini terdiri dari 13,2 juta ha kebun sawit di areal penggunaan lain (APL) atau nonkawasan hutan serta 3,3 juta ha kebun sawit berada dalam kawasan hutan yang belum dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) atau tukar-menukar kawasan hutan (TMKH) .
Ia merinci kebun sawit di dalam kawasan hutan tersebut seluas 576.000 ha dalam proses pengurusan IPKH dan TMKH di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Mayoritas kebun sawit di kawasan hutan lainnya, yaitu seluas 2,79 juta ha belum diproses karena menunggu regulasi sebagai dasar penyelesaian.
Dodi Slamet Riyadi mengatakan dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law alias perundangan sapujagat, antara pemerintah dan DPR, disepakati dasar (rule base) penyelesaian permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang akan diatur dalam PP. Regulasi ini tetap memperhatikan peraturan sektor yaitu kehutanan serta tata ruang dan pertanahan.
Ia pun menjelaskan pola penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan dibagi menurut status kawasan hutan ataupun pemilik perkebunan. Status kawasan hutan yang telanjur dibuka dan ditanami sawit tersebut bisa berupa hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi tetap terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonservasi. Adapun pemilik perkebunan tersebut dibagi menjadi milik masyarakat dan perusahaan ataupun koperasi.
Status hutan dan kepemilikan ini membedakan perlakuan atau sanksi ataupun jalan keluar. Misalnya di hutan konservasi, kebun milik masyarakat dan perusahaan/korporasi dengan tegas ditutup. Bedanya, pada korporasi, pemerintah memberikan sanksi denda dan mewajibkan pelaksanaan rehabilitasi kebun menjadi hutan kembali.
Contoh lagi, di hutan produksi yang dapat dikonversi, kebun milik masyarakat tidak dikenai sanksi administratif (kecuali milik koperasi) dan pengusulan revisi tata ruang yang ditindaklanjuti dengan pengurusan izin usaha perkebunan (IUP) ataupun surat tanda daftar budidaya (STDB). Pada kebun milik perusahaan di hutan produksi yang dapat dikonversi, korporasi dikenai sanksi denda dan wajib mengurus IPKH.
Dodi menyebutkan, pemerintah mengedepankan sanksi administratif. Pemerintah hanya akan menggunakan sanksi pidana apabila menemukan unsur kerugian negara dan apabila sanksi administrasi tak efektif.
Dalam penyelesaian sawit di kawasan hutan, pemerintah menggunakan aspek kronologis dalam penggunaan kebun tersebut. Itu untuk mengetahui kelengkapan dokumen saat pembukaan kebun, status lahan yang digunakan dari sisi kehutanan ataupun tata ruang.
Ia sepakat Inpres Moratorium Sawit yang berlaku hingga setahun lagi memerlukan perpanjangan. Kebijakan moratorium yang baru nanti semestinya juga diiringi penguatan kapasitas dan kelembagaan.
Terkait penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, menurut sejumlah peserta dalam diskusi tersebut, pemerintah memiliki regulasi yang cukup untuk menyelesaikan permasalahan itu. Menunggu RUU Cipta Kerja yang secara substansi mendapatkan penolakan kencang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi itu, bahkan menunggu lagi penyusunan PP pelaksanaan undang-undang tersebut, merupakan langkah yang membuang waktu.
Keterbukaan informasi
Abu Meridian, Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, mengatakan, kebijakan moratorium sawit membutuhkan keterlibatan publik secara luas. Ini karena isu sawit sangat kompleks serta menyokong perekonomian nasional secara umum dengan berbagai permasalahan yang mengikutinya.
Keterlibatan publik itu, kata dia, yaitu dengan menjalankan keterbukaan informasi. Kondisi saat ini, kata dia, masyarakat tak pernah mendapatkan info terkini perkembangan pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Padahal inpres tersebut menagamanatkan agar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai ”dirijen” pelaksanaan moratorium sawit memberikan laporan rutin 6 bulanan kepada Presiden.
Kalau tidak ada perubahan, tidak ada manfaatnya inpres ini. Proses akan percuma saja. (Abu Meridian)
”Kalau tidak ada perubahan (di antaranya dalam keterbukaan informasi publik), tidak ada manfaatnya inpres ini. Proses akan percuma saja,” katanya.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono pun sepakat agar Inpres Moratorium Sawit dijalankan serius. Evaluasi izin tersebut menurutnya juga agar menyentuh permasalahan yang dialami koleganya, yaitu mendapatkan hak guna usaha (HGU), tetapi tiba-tiba lahannya tersebut berubah status menjadi kawasan hutan.