Akankah generasi saat ini mewariskan kondisi Bumi yang karut-marut akibat dampak perubahan iklim kepada generasi mendatang? Saatnya tidak bertindak egois karena satu-satunya planet kehidupan ini juga milik mereka.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Komitmen Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada Kesepakatan Paris sebesar 29-41 persen belum menjamin keadilan iklim bagi lintas generasi. Sekalipun komitmen penurunan emisi tersebut dijalankan oleh Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia, kenaikan rata-rata suhu Bumi masih berada pada kisaran 3-4 derajat celsius.
Kenaikan rata-rata suhu Bumi setinggi itu sungguh tak terbayangkan dampaknya bagi kehidupan manusia dan makhluk lain penghuni Bumi, satu-satunya planet yang bisa memberi kehidupan. Kenaikan suhu Bumi 2 derajat celsius dari rata-rata global saja diprediksi akan membawa Bumi pada sebuah bencana yang memorak-porandakan kehidupan manusia. Dan, yang penting digarisbawahi peristiwa kehancuran itu dikatakan tak mungkin lagi distop atau diperbaiki (irreversible).
Pada laporan khusus panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (IPCC) berjudul ”IPCC Special Report Global Warming of 1.5° C” pada 2018, para pakar di berbagai bidang tersebut menganalisis sejumlah perbandingan dampak kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dan 2 derajat celsius.
Hasilnya, meski hanya terpaut 0,5 derajat celsius, dampaknya sangat jauh sekali. Intinya, lebih untung bagi dunia untuk ”berkorban” dengan upaya maksimal untuk menurunkan emisi dibanding membiarkan suhu meningkat hingga 2 derajat celsius atau lebih.
Dari sisi sosial dan kependudukan, kenaikan 2 derajat akan menyebabkan kenaikan muka air laut yang membuat jutaan warga pesisir kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi. Dari sisi ketahanan pangan, kenaikan suhu itu akan menyebabkan ketidakmenentuan cuaca yang kian mematikan bagi berbagai komoditas karbohidrat dan protein dunia.
Belum lagi bencana hidrometeorologi akibat cuaca ekstrem tak menentu, seperti banjir, longsor, badai, dan kekeringan, yang kian menimbulkan dampak buruk. Penghangatan global pun membawa dunia kian kehilangan ekosistem-ekosistem rentan, seperti terumbu karang yang selama ini menjaga menjaga kehidupan.
Singkatnya, Bumi menjadi planet yang tak lagi aman dan nyaman untuk dihuni umat manusia ke depannya. Kesempatan umat manusia untuk menentukan masa depan Bumi itu ditentukan saat ini hingga sekitar tahun 2030 atau 2050 dari proyeksi emisi gas rumah kaca.
Artinya, di tahun saat Indonesia mencapai 100 tahun 2045, apakah generasi sekarang memberi kado terindah bagi generasi barunya dengan alam yang lebih baik. Dengan proyeksi penduduk Indonesia mencapai hampir 320 juta pada 2045 tersebut, komposisi usia produktif mencapai lebih dari 200 juta dan belum produktif (0-15 tahun) sekitar 70 juta, itulah generasi yang seharusnya menikmati bonus demografi.
Kondisi dunia yang sekarat itu tentunya dikhawatirkan generasi yang akan mewarisi, baik mereka yang saat ini masih anak-anak, remaja, pemuda, maupun mereka yang mungkin belum terlahir. Ini setidaknya tergambar dalam survei Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia yang diluncurkan bertepatan dengan aksi Global Climate Strike, Jumat (25/9/2020).
Survei menemukan sekitar 90 persen warga muda aktif merasa khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim. Sejumlah 97 persen di antaranya berpendapat bahwa dampak krisis iklim setidaknya sama atau lebih parah dari dampak pandemi Covid-19.
Dampak yang paling dikhawatirkan meliputi krisis air bersih (15 persen), krisis pangan (13 persen), dan penyebaran penyakit atau wabah (10 persen). Temuan menarik lain, sejumlah 19 dari 20 orang responden percaya bahwa manusia memiliki andil dalam menyebabkan krisis iklim.
Dalam Analisis Kebijakan Iklim Indonesia dalam Perspektif Keadilan Antargenerasi yang disusun sejumlah anak muda, melihat bahwa Indonesia tidak berada pada jalur tepat Kesepakatan Paris. Indonesia masih boros emisi karbon yang menjadi jatahnya hingga 2100 akan habis pada 2030.
”Pemerintah secara sadar krisis iklim berdampak parah pada manusia (IPCC), tetapi pemerintah tidak berbuat apa-apa, bahkan tidak menaikkan target ambisius dari 29-41 persen,” kata Syaharini, tim kajian dan penulis analisis tersebut, dalam webinar yang difasilitasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Eknas Walhi), Jumat (25/9/2020).
Secara ekstrem, bisa dikatakan begitu, ia menyebut jika tidak ada perubahan sama saja pemerintah melakukan ”pembunuhan massal” bagi generasi mendatang. Tudingan yang tentu sangat-sangat bisa diperdebatkan argumentasinya. Tapi setidaknya itulah yang dirasakan kaum muda yang akan melanjutkan estafet sebagai pewaris Bumi ini.
Alur logikanya, ketika seseorang tahu bahwa orang itu dapat berbuat sesuatu untuk mencegah suatu kondisi yang berbahaya dan membahayakan nyawa tapi tak melakukan apa yang seharusnya bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa tersebut. Syahari melihat pemerintah Indonesia masih bisa berbuat lebih untuk menyelamatkan generasi muda dan generasi yang akan datang.
Di antaranya yaitu mulai konsisten menjalankan pembangunan yang ramah iklim seperti pengurangan hingga penghentian penggunaan bahan bakar fosil batubara dan melindungi hutan tersisa. Selain itu, anak-anak muda ini mendesak agar Pemerintah Indonesia yang mewakili ”pihak” dalam Kesepakatan Paris untuk meningkatkan komitmen penurunan emisi (NDC) dari sekarang ini yaitu 29-41 persen.
Puncak emisi Indonesia agar ditetapkan paling lambat tahun 2020. Itu menjadi acuan dalam penurunan emisi yang lebih ambisius dan merencakanan penentuan target nol emisi secepatnya yang terikat hukum.
Itulah desakan mereka yaitu orang-orang yang akan mewarisi Bumi. Mereka tak ingin mewarisi Bumi yang hancur dan menuai kesengsaraan atas dampak perubahan iklim yang sebenarnya bisa direm oleh kita, generasi sekarang.