Pemerintah Terus Didesak Penuhi Janji Reforma Agraria
Janji pemerintah untuk menjalankan reforma agraria secara nyata ditagih kembali di Hari Tani Nasional. Keadilan penguasaan lahan dan penyelesaian konflik agraria agar dijalankan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didesak melunasi janji reforma agraria dengan memberikan keadilan hak atas tanah bagi masyarakat dan menyelesaikan sejumlah konflik agraria. Pemerintah dan DPR juga didesak membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law karena perundangan tersebut akan semakin menjauhkan langkah dari pencapaian reforma agraria.
Hal tersebut merupakan tuntutan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dalam aksi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Selain Jakarta, aksi serupa juga digelar di 60 kabupaten/kota dan 17 provinsi di Indonesia.
Aksi yang diikuti petani, masyarakat adat, buruh, hingga mahasiswa ini digelar sebagai momentum peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2020 dan 60 tahun kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
”Petani melakukan reclaiming (meminta kembali) di Gedung DPR sebagai bentuk perjuangan untuk mengambil kembali hak atas tanah mereka yang sudah dirampas investor dan negara,” ujar perwakilan KNPA, Benny Wijaya, secara virtual.
Ia mengatakan di beberapa daerah banyak korporasi diberikan hak guna usaha (HGU) dan konsesi perizinan. Di sisi lain tanah tidak dimanfaatkan, sementara petani semakin kehilangan tanah.
Benny menyampaikan, sejak pandemi Covid-19, petani terus berupaya menopang ketersediaan lumbung pangan di tengah kondisi negara yang masih bergantung pada impor pangan. Namun, yang terjadi justru petani dibuat susah.
Berdasarkan catatan KNPA, sejak Maret hingga September 2020, terdapat 35 kejadian konflik agraria yang berupa perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, hingga penangkapan. Sejumlah konflik itu, antara lain, terjadi di Kebumen (Jawa Tengah), Lamandau (Kalimantan Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), dan Minahasa Selatan (Sulawesi Utara).
”Dalam konteks kebijakan juga dibuat RUU Cipta Kerja yang dinarasikan mengundang investasi dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi, di dalamnya, RUU tersebut merupakan jalan pintas pemerintah dan DPR untuk melegitimasi perampasan tanah, penggusuran, dan monopoli kekayaan negara kita untuk investasi dan bisnis,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan, rentetan sejumlah konflik agraria di masa pandemi menunjukkan kontraproduktif narasi Presiden Joko Widodo yang meminta petani menopang ketersediaan pangan agar krisis tidak terjadi.
Dewi juga memandang konflik agraria tidak akan bisa selesai jika pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja. Sebab, RUU tersebut sangat berdampak pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi para petani karena tanah akan semakin dikorporatisasi.
”Selain omnibus law yang kami anggap akan mengubah UU Pokok Agraria sebagai undang-undang fundamental kaum petani, ada juga bahaya food estate dan cetak sawah baru yang seolah-olah menjadi jawaban negara dalam mengatasi krisis pangan. Alih-alih menjalankan reforma agraria, tetapi justru negara kembali melakukan liberalisasi pertanahan,” tuturnya.
Konflik di perkotaan
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mengungkapkan, keadilan ruang saat ini belum dapat tercapai bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan yang sama sekali tidak memiliki hak untuk membangun kehidupan yang layak. Dalam momentum HTN dan 60 tahun kelahiran UU Pokok Agraria, pemerintah pun didesak menyelesaikan konflik agraria dan memenuhi hak-hak rakyat.
Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menambahkan, persoalan perampasan ruang-ruang hidup tidak hanya dirasakan masyarakat perdesaan, tetapi juga perkotaan. Hal ini ditunjukkan dari dikuasainya tanah di wilayah perkotaan oleh perusahaan properti hingga perhotelan. Akibatnya, rakyat miskin perkotaan dan kaum buruh akhirnya terlempar ke daerah pinggir yang mayoritas merupakan kawasan kumuh.
”Dalam menyikapi Hari Tani, KPBI mendukung perjuangan reforma agraria karena persoalan ketimpangan dan monopoli kepemilikan lahan harus dihentikan. KPBI juga menyediakan untuk melakukan kerja sama yang progresif kepada pihak mana pun atas tuntasnya agenda reforma agraria sejati,” katanya.