Rancangan PP Minerba Berpotensi Memunculkan Pemburu Rente Baru
Selain penyusunan yang tidak memperhatikan aspek akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi, peraturan pemerintah terkait pertambangan berpotensi menjadi sumber rente perizinan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil meminta pemerintah menunda dan membatalkan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau RPP Minerba. Selain pembahasannya tak partisipatif dan tak transparan, RPP Minerba mengatur ketentuan yang berpotensi memunculkan pemburu rente baru.
Rancangan PP Minerba merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang resmi ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020. Selain RPP Minerba, pemerintah juga menyusun aturan turunan UU Minerba lain, yakni RPP tentang Wilayah Pertambangan serta RPP tentang Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang.
Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, RPP Minerba yang disusun itu banyak mengatur pasal terkait dengan proses permohonan izin maupun perubahan perpanjangan operasi pemegang kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Ada dugaan bahwa RPP ini sangat terburu-buru untuk memfasilitasi PKP2B yang sudah habis. (Aryanto Nugroho)
”Kita tahu sekarang ada beberapa perusahaan besar yang sedang mengajukan perpanjangan PKP2B. Ada dugaan bahwa RPP ini sangat terburu-buru untuk memfasilitasi PKP2B yang sudah habis,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (15/9/2020).
Aryanto melihat terdapat sejumlah pasal yang bermasalah dalam draf RPP Minerba, di antaranya Pasal 4 dan Pasal 5. Kedua pasal tersebut mengatur tentang pemberian mandat bagi pemerintah untuk menyusun rencana pengelolaan minerba nasional dan dapat ditinjau jika ada perubahan kebijakan. Menurut Aryanto, aturan ini menegaskan bahwa pengelolaan minerba tidak mempertimbangkan kebijakan energi nasional.
Dalam Bab 3 RPP Minerba juga terdapat penambahan istilah IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian. Aturan tersebut merupakan turunan dari pasal baru dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Padahal, pasal baru itu dianggap bermasalah dan sedang dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
”Orang akhirnya tidak akan niat untuk melakukan aktivitas penambangan. Asal dia memiliki portofolio pernah melakukan usaha pertambangan dan melakukan operasi produksi pasti langsung mendapatkan izin. Setelah mendapat izin kemudian dipindahtangankan sehingga akan menjadi rente baru,” katanya.
Berkaca dari kondisi tersebut, koalisi masyarakat sipil pun mendorong agar pemerintah menunda penyusunan RPP tersebut. Selain penyusunan yang tidak memperhatikan aspek akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi, peraturan pemerintah terkait pertambangan juga selalu menimbulkan polemik di masyarakat.
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menegaskan, pemerintah seharusnya menunda pembahasan RPP Minerba dan menunggu hasil uji materi di MK terkait pasal-pasal UU Minerba yang bermasalah. Penetapan RPP Minerba akan sia-sia jika nantinya MK mengabulkan gugatan pasal-pasal tersebut.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, dengan substansi tersebut, penerbitan PP baru tidak menjamin bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan pertambangan, khususnya di Kalimantan Timur. Sebab, permasalahan pertambangan jauh lebih kompleks, seperti keselamatan rakyat, lingkungan, konflik perampasan lahan, kepatuhan pajak, dan korupsi.
”Penting bagi kami mendudukkan persoalan agar pemerintah segera membuka secara transparan ke publik terkait kewajiban dan hak para pemegang izin sebelum RPP ini disahkan. Sebab, ada kewajiban bagi publik untuk mengetahui dan mengevaluasi kegiatan pertambangan,” tuturnya.