Plasma Penyembuh Belum Bisa Jadi Standar Perawatan
Riset terapi plasma konvalesen untuk memulihkan pasien Covid-19 menjanjikan. Namun, Panel National Institutes of Health Amerika Serikat menyebutkan, belum ada bukti kuat plasma penyembuhan bisa mengobati pasien Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Panel National Institutes of Health Amerika Serikat menyebutkan, belum ada bukti kuat plasma penyembuhan dapat mengobati pasien Covid-19. Oleh karena itu, dokter tidak diizinkan memperlakukannya sebagai standar perawatan sampai penelitian lebih lanjut selesai dilakukan.
”Tidak ada cukup data untuk merekomendasikan baik mendukung atau menentang penggunaan plasma yang sembuh untuk pengobatan Covid-19,” demikian disampaikan panel yang terdiri lebih atas tiga lusin ahli dalam sebuah pernyataan yang diunggah di laman National Institutes of Health (NIH),Rabu (2/8/2020).
Plasma penyembuhan (konvalesen) tidak boleh dianggap sebagai standar perawatan pasien dengan Covid-19. ”Uji coba acak prospektif, terkontrol dengan baik, dan luas diperlukan untuk menentukan apakah plasma penyembuh efektif dan aman untuk pengobatan Covid-19,” katanya.
Tidak ada cukup data untuk merekomendasikan baik mendukung atau menentang penggunaan plasma yang sembuh untuk pengobatan Covid-19.
Pernyataan ini bertentangan dengan keputusan Presiden Donald Trump yang minggu lalu mendukung otorisasi penggunaan darurat terapi plasma ini oleh US Food and Drug Administration (FDA). Data FDA didasarkan pada studi pendahuluan terhadap plasma penyembuhan dari Mayo Clinic.
Studi ini hanya membandingkan sebagian kecil pasien yang menerima antibodi plasma dari pasien Covid-19 dengan konsentrasi tinggi atau rendah. Selain jumlah responden kecil, studi ini dinilai belum bisa menunjukkan perbedaan signifikan pemberian terapi plasma dalam menurunkan kematian.
Sementara penelitian lain dari China, yang diterbitkan pada Agustus 2020 di Journal of American Medical Association, juga menunjukkan, plasma membantu orang bertahan hidup dari Covid-19. Mereka yang menunjukkan perbaikan klinis di antaranya yang berada di rumah sakit dan mengalami kesulitan bernapas, tetapi belum memburuk hingga membutuhkan ventilator.
Panel NIH yang dipimpin oleh para ilmuwan terkemuka di AS ini menyebutkan, data yang dipublikasikan sejauh ini tidak benar-benar menunjukkan apakah terapi itu membantu pasien.
Risiko pengobatan jangka panjang pasien Covid-19 dengan plasma penyembuhan perlu dikaji. Selain itu, apakah penggunaannya melemahkan respons kekebalan terhadap SARS-CoV-2 serta membuat pasien lebih rentan terhadap infeksi ulang belum dievaluasi. Ditambah lagi, pasien yang berbeda memiliki tingkat antibodi yang berbeda sehingga pengobatannya sangat bervariasi.
Uji klinis
Di Indonesia, plasma penyembuhan telah diberikan kepada pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit. ”Sebelumnya telah dilakukan uji klinik fase satu,” kata David Mulyono, Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Menurut David, saat ini uji klinik fase kedua dan ketiga disiapkan. Pernyataan NIH ini harus menjadi peringatan bagi Indonesia untuk membuat protokol yang disepakati.
”Berarti, kita harus berusaha menyelesaikan misi dan tugas uji klinik ini untuk menghasilkan data akurat di Indonesia. Diharapkan hasilnya bisa disumbangkan untuk memperbaiki protokol dunia,” kata David, yang menjadi peneliti utama uji klinik plasma penyembuhan di Indonesia.
David mengatakan, uji klinik plasma penyembuhan ini mulai tersentralisasi sehingga diharapkan akan ada satu data dasar yang menjadi pedoman terapi. ”Kami sudah melakukan pelatihan bertahap di 18 rumah sakit,” ujarnya.
Dengan menjadi uji klinik, lanjut David, pasien Covid-19 yang mendapatkan terapi ini seharusnya tidak ditarik bayaran lagi. ”Semua pasien yang mendapat terapi ini akan ditanggung negara. Sudah dapat izin komisi etik dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Targetnya, terapi ini akan diberikan kepada 364 pasien dari sejumlah rumah sakit,” katanya.
Terapi ini didasari asumsi bahwa tubuh manusia akan membentuk antibodi ketika terinfeksi mikroorganisme, termasuk virus. Metode ini sebelumnya telah diterapkan untuk penyakit infeksi lain.
Sekalipun memberikan harapan untuk terapi, David mengingatkan, hal ini harus melalui uji klinik dengan benar. Apalagi, pengobatan ini memiliki kompleksitas tinggi, meliputi siapa yang bisa diambil plasmanya dan pengguna plasma.
Pemberi plasma merupakan pasien yang pernah punya gejala dan sembuh. Namun, tak semua penyintas memiliki kadar antibodi tinggi yang bisa diberikan kepada orang lain. Sebagai contoh, orang yang pernah terinfeksi tanpa gejala kemungkinan tidak memiliki antibodi yang cukup.
Selain itu, antibodi yang ada di tubuh kita bisa beragam. Ada yang spesifik SARS-CoV-2 dan itu diharapkan bisa menetralkan. Namun, bisa jadi ada antibodi SARS yang lain atau bahkan dari infeksi lain. Oleh karena itu, harus dilakukan tes dan saat ini Lembaga Eijkman masih mengembangkan tesnya.