Pengawasan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang Tak Kunjung Diperkuat
Laporan JPIK selama Oktober 2019-Juni 2020 terkait pelaksanaan SVLK dari hulu sampai hilir di sejumlah daerah menunjukkan sistem kebanggaan Indonesia ini masih lemah. Peredaran kayu ilegal tetap terjadi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Meski Indonesia memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, toh praktik pembalakan liar masih terus terjadi. Bahkan, perusahaan olahan kayu yang mengantongi sertifikat legalitas juga masih ditemukan menggunakan produk kayu yang bersumber dari perusahaan yang tidak bersertifikat.
Kondisi ini mengisyaratkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) masih lemah. Sejumlah penguatan dalam hal pengawasan, seperti keterbukaan akses sistem bagi pengawas independen serta melakukan penegakan hukum yang konsisten dan tegas sudah sangat diperlukan. Ini agar SVLK tetap kredibel dan dipercaya penuh oleh negara-negara importir produk kayu dari Indonesia.
Itu beberapa kondisi faktual yang disajikan laporan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) selama Oktober 2019-Juni 2020 yang bertujuan memastikan tahapan pelaksanaan SVLK dari hulu sampai hilir. JPIK memantau dan menganalisis peredaran kayu di Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat.
Pemantauan lapangan dilakukan pada beberapa pemegang izin dan unit pengelolaan hutan, antara lain IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam/HPH), IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman/HTI), IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) dan industri lanjutan (sekunder), IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), Eksportir Nonprodusen, serta pemantauan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Hasil pemantauan di Riau menunjukkan bahwa kayu-kayu ilegal yang berasal dari Suaka Margasatwa Rimbang Baling masih beredar luas.
Peneliti JPIK Deden Pramudiana menyampaikan, hasil pemantauan di Riau menunjukkan bahwa kayu-kayu ilegal yang berasal dari Suaka Margasatwa Rimbang Baling masih beredar luas. Kayu tersebut diangkut untuk memenuhi suplai bahan baku beberapa industri primer yang perizinannya diragukan.
”Aktivitas illegal logging ini memang melibatkan masyarakat lokal dan diduga kuat didukung oleh oknum aparat setempat sehingga transportasi berjalan dengan lancar,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Kamis (27/8/2020).
Kasus serupa juga ditemukan di KPHP Lalan Mangsang Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. JPIK menemukan kayu berbentuk balok dengan panjang sekitar 4 meter di Desa Muara Medak yang dihanyutkan melalui Sungai Medak dan Sungai Merang. Kayu-kayu tersebut kemudian diangkut ke beberapa industri yang berada di Sumsel dan Jambi.
JPIK juga menemukan indikasi pembalakan liar oleh perusahaan yang telah mengantongi izin pemanfataan kayu (IPK). Perusahaan tersebut diduga kuat melakukan pemanenan kayu di luar lokasi izin, yaitu di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Kedurang seluas kurang lebih 58 hektar.
Sementara di tingkat hilir, perusahaan pengekspor produk kehutanan yang telah bersertifikat legal kayu ditemukan menggunakan produk kayu yang bersumber dari perusahaan yang tidak bersertifikat. Temuan ini membuat korporasi tersebut diragukan legalitasnya.
Juru kampanye JPIK, Muhammad Ichwan, mengatakan, JPIK kerap menghadapi sejumlah kendala dan tantangan dalam melakukan pemantauan. Salah satu kendala tersebut ialah sampai saat ini JPIK belum mendapatkan data dan informasi yang ada di Sistem Informasi Perizinan Usaha Hasil Hutan (SIPUHH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Laporan temuan yang kami dapatkan di lapangan hampir semua ditindaklanjuti dan kami laporkan ke lembaga sertifikasi termasuk pihak penegakan hukum. Akan tetapi, beberapa laporaan dari lembaga sertifikasi hasilnya kurang memuaskan karena lamanya waktu koordinasi sehingga berpotensi menghilangkan barang bukti,” ujarnya.
Ia pun menegaskan perlunya penguatan dalam aspek pengawasan dan penegakan hukum sehingga dapat mengurangi kerugian negara atas hilangnya daya dukung lingkungan, sumber daya hutan, dan habitat satwa liar yang dilindungi. Selain itu, perlu juga meningkatkan koordinasi dalam pelaksanaan SVLK melalui evaluasi berkala seluruh isi pemanfaatan, pengolahan, dan perdagangan kayu.
Bruno Cammaert dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Uni Eropa menyatakan, peran pemantau independen sangat penting untuk memastikan SVLK dijalankan dengan baik dan akuntabel. Hasil pemantauan telah digunakan sebagai bukti dalam beberapa kasus pembalakan liar dan penyelundupan kayu.
Dikonfirmasi terkait temuan dan masukan dari JPIK, hingga Kamis malam, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono belum memberikan respons.
Dalam siaran pers KLHK, 15 Juli 2020, disebutkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan SVLK merupakan salah satu instrumen penting dalam mendukung upaya peningkatan tata kelola hutan lestari. Bahkan disebutkan bahwa SVLK bukti perbaikan signifikan tata kelola kehutanan di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya hutan yang luas dan keanekaragaman hayati yang berlimpah, Indonesia terus melakukan pembenahan tata kelola. Hal tersebut pada sisi pemanfaatan hasil hutan dan konservasi ekosistem ataupun dari sisi perlindungan hutan dari aktivitas ilegal, seperti pembalakan liar dan perdagangan tanpa izin.
”Implementasi SVLK mampu mendukung upaya pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan ilegal, implementasi SVLK membantu mengembalikan kepercayaan pasar atas produk kayu Indonesia yang berasal dari sumber-sumber yang legal dan berkelanjutan,” ujar Siti Nurbaya dalam rilis terkait kehadirannya sebagai pembicara dalam sesi pertemuan tingkat tinggi pembuka Chatham House Virtual Event: Global Forum on Forest Governance yang dilaksanakan pada 13 Juli 2020 secara daring.
Pernyataan kuat ini membutuhkan implementasi yang tak kalah kuat di lapangan. Ini agar benar-benar Indonesia bukan lagi identik dengan negara berstigma kayu ilegal, pembalakan liar, dan perusak hutan.