Hasil riset penanggulangan demam berdarah dengue dengan menggunakan bakteri ”Wolbachia” diharapkan bisa diperluas hingga skala nasional. Hal itu menjadi bagian dari upaya pengendalian penyakit menular tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rekayasa teknologi melalui pemberian bakteri Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti terbukti bisa menurunkan kejadian demam berdarah dengue hingga 77 persen. Temuan ini menjadi harapan bagi upaya eliminasi demam berdarah dengue yang tiap tahun mengakibatkan 10.000 orang meninggal di Indonesia ini.
Direktur Regional World Mosquito Program (WMP) Asia Claudia Surjadjaja mengatakan, keberhasilan kajian ini diharapkan tidak hanya digunakan dalam skala nasional, tetapi juga global. ”Riset ini bukan hanya bukti keberhasilan inovasi, tetapi juga karena kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan sektor swasta. Secara khusus, saya mengapresiasi dukungan masyarakat Yogyakarta. Ini akan berkontribusi global,” ungkapnya.
Keberhasilan studi ini disampaikan Ketua Proyek WMP Yogyakarta Adi Utarini dalam diskusi daring di Yogyakarta, Rabu (26/8/2020). Riset yang dilakukan sejak tahun 2011 ini didanai Yayasan Tahija bekerja sama dengan Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta Monash University.
Ketua Dewan Pengawas Yayasan Tahija George S Tahija mengapresiasi keberhasilan ini dan mengajak UGM serta Monash University untuk meningkatkan kolaborasi sehingga bisa mengembangkannya secara nasional. Itu membutuhkan keterlibatan banyak pihak, pemerintah, juga komunitas filantropi. ”Harapan kami, bisa jadi proyek skala nasional,” ungkapnya.
Menurut Utarini, riset dimulai dengan memasukkan bakteri Wolbachia pipientis ke tubuh nyamuk Aedes aegypti. Wolbachia diketahui mampu menghambat pertumbuhan virus dengue di tubuh nyamuk ini sehingga mereka tak bisa menularkan DBD kepada manusia.
Tim peneliti kemudian mengujinya dengan melepaskan nyamuk yang telah terinfeksi bakteri Wolbachia ini dalam skala terbatas di Sleman dan Bantul. Setelah risikonya dianalisis oleh tim independen, nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi bakteri ini dilepas dilepas skala besar di Kota Yogyakarta dan Bantul pada 2017.
Untuk memantau efektivitas teknologi Wolbachia ini, peneliti melibatkan 8.200 responden. Itu merupakan uji untuk melihat efektivitas nyamuk dengan Wolbachia terbesar di dunia. ”Melalui persetujuan masyarakat, wilayah penelitian dibagi dua. Ada 12 kluster yang mendapat nyamuk dengan Wolbachia dan ada 12 wilayah kontrol,” katanya.
Pelepasan nyamuk dilakukan secara bertahap selama delapan bulan. Setelah populasi nyamuk Wolbachia dianggap tinggi, sejak bulan Februari 2018 kasus DBD di masyarakat mulai dipantau hingga Maret 2020. Selain pelepasan nyamuk ini, tim peneliti mendorong warga tetap melakukan upaya pembersihan lingkungan agar tidak menjadi sarang nyamuk.
”Hasilnya, selama 27 bulan penelitian, sangat dramatis. Terdapat penurunan 77 persen kejadian dengue di wilayah yang mendapat nyamuk DBD dengan bakteri Wolbachia,” tuturnya.
Menurut Utari, penurunan kejadian sebesar ini sangat berarti dalam upaya intervensi terhadap pengendalian penyakit menular. ”Karena itu, kami berharap kepada pemerintah, hasil ini dapat melengkapi program pengendalian DBD di Indonesia,” ungkapnya.
Hasilnya, selama 27 bulan penelitian, sangat dramatis. Terdapat penurunan 77 persen kejadian dengue pada wilayah yang mendapat nyamuk DBD dengan bakteri Wolbachia.
Tim peneliti WMP Warsito Tantowijoyo mengatakan, nyamuk dengan Wolbachia bisa bereproduksi secara alami dan keturunannya mempunyai bakteri yang stabil dari generasi ke generasi. Untuk di laboratorium, peneliti memelihara hampir 100 generasi dan Wolbachia tetap stabil tinggi 100 persen, sedangkan bukti di empat wilayah yang dilepas nyamuk pada 2014, sampai saat ini, Wolbachia juga masih stabil di atas 90 persen.
Bakteri Wolbachia ini juga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem. ”Kami secara kontinu mengamati hal itu, dan pengamatan kami, Wolbachia tak memengaruhi populasi nyamuk di ekosistem alami dan tak memengaruhi karakter resistansi nyamuk terhadap insektisida," katanya.
Kolaborasi
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengapresiasi upaya eliminasi DBD melalui nyamuk Wolbachia di wilayahnya. ”Kasus DBD di Yogyakarta pada 2016 mencapai 1700-an, setelah adanya proyek ini ada penurunan drastis menjadi 400-an, bahkan pernah hanya 100-an setahun. Sampai Agustus 2020 ini, kasus DBD di Kota Yogyakarta hanya 264,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pembina Yayasan Tahija Sjakon G Tahija mengatakan, saat mengawali karier sebagai dokter puskesmas di Flores telah melihat dan mengalami dampak DBD di masyarakat. ”Karena itu, sejak 2011 kami memilih membantu proyek ini. Kami senang akhirnya dana dan tenaga yang dikerahkan selama sembilan tahun berhasil menekan insiden penyakit DBD sebesar 77 persen,” katanya.