Informasi Keliru tentang Covid-19 Mematikan
Ratusan korban meninggal dunia karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati Covid-19 di berbagai negara. Indonesia menempati peringkat paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Informasi keliru terkait Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru bisa mematikan. Setidaknya 800 orang meninggal di seluruh dunia karena kesalahan informasi terkait Covid-19 dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Indonesia menempati peringkat paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Hasil kajian ini ditulis Md Saiful Islam dari Program for Emerging Infections, Infectious Diseases Division, Bangladesh, dan para peneliti lain dari sejumlah negara di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi 10 Agustus 2020. Selain 800 korban meninggal, tim peneliti ini menemukan sekitar 5.800 orang dirawat di rumah sakit akibat informasi palsu tentang penyembuhan Covid-19 di media sosial.
Dalam kajian ini, peneliti mengidentifikasi 2.311 infodemik atau informasi keliru terkait Covid-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara dalam periode 21 Januari hingga 5 April 2020. Dari jumlah tersebut, 2.049 atau 89 persen laporan diklasifikasikan sebagai rumor, 182 atau 7,8 persen adalah teori konspirasi, dan 82 atau 3,5 persen adalah stigma.
Baca juga Infodemik Covid-19 Berkembang hingga Teori Konspirasi
Di antara semua kategori informasi yang dilacak, 24 persen terkait penyakit, penularan, dan kematian. Sebanyak 21 persen terkait intervensi, 19 persen untuk pengobatan dan penyembuhan,15 persen untuk penyebab penyakit termasuk asalnya, 1 persen terkait kekerasan, dan 20 persen untuk lain-lain.
Dari 2.276 informasi yang ditemukan, 1.856 atau 82 persen merupakan klaim salah, 204 atau 9 persen berbasis bukti, 176 atau 8 persen menyesatkan, dan 31 atau 1 persen tidak terbukti. Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi secara berurutan berasal dari India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.
Di antara klaim keliru yang paling populer yakni konsumsi alkohol dengan konsentrasi tinggi bisa mendisinfeksi tubuh dan membunuh virus. Contoh lain informasi keliru meliputi antara lain makan bawang putih berjumlah besar atau mengonsumsi vitamin berjumlah besar. Bahkan, ada yang minum air seni sapi.
Baca juga Lawan Terpaan Infodemik dengan Skeptis pada Informasi
Mengikuti informasi yang salah ini, sekitar 800 orang telah meninggal dunia, sedangkan 5.876 telah dirawat di rumah sakit dan 60 mengalami kebutaan total karena meminum metanol yang dipercaya bisa jadi obat Covid-19.
Selain individu yang mengikuti informasi salah, ada juga kasus-kasus organisasi yang mengikuti saran tidak tepat. Sebagai contoh, gereja di Korea Selatan yang menyemprotkan air asin kepada para jamaahnya untuk menangkal penularan. Namun, lebih dari 100 orang justru terinfeksi virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 karena terpercik air yang telah terkontaminasi.
Laporan ini juga menyebutkan adanya stigma, termasuk kepada petugas kesehatan, mulai dari diintimidasi atau dihina secara fisik hingga menghadapi diskriminasi dari lingkungan mereka. Salah satu contohnya terjadi di Ukraina, di mana penduduk setempat memblokir jalan dan melemparkan batu ke bus yang membawa 82 penumpang yang dievakuasi dari Wuhan.
Makalah tersebut menyimpulkan lembaga pemerintah dan platform media sosial harus bertanggung jawab melawan infodemik ini. Sekalipun sejumlah platform media sosial itu berupaya menyaringnya, kebanyakan terlambat dan masih banyak yang beredar di masyarakat.
Situasi di Indonesia
Meski menempatkan Indonesia dalam urutan keempat negara paling banyak terdapat infodemik terkait Covid-19, laporan ini tidak memerinci secara spesifik. Penelusuruan Kompas dari pemberitaan di sejumlah media dan media sosial, terdapat laporan kematian akibat mengonsumsi disinfektan. Misalnya, satu remaja di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan meninggal dan dua lainnya sakit setelah mengonsumsi oplosan minuman energi dengan disinfektan.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, Kamis (13/8) mengatakan, info keliru terkait pandemi ini menjadi persoalan global, termasuk di Indonesia. "Untuk mengatasinya, literasi publik perli ditingkatkan, selain itu pemerintah harus merespons dengan komunikasi risiko yang akurat dan cepat," katanya.
Dicky mencontohkan, mereka yang menyatakan Covid-19 sebagai rekayasa dan mengajak orang tidak memakai masker misalnya, harusnya mendapat sanksi. Termasuk halnya, mereka yang mengajak menolak vaksin, bisa dianggap mempersulit penanganan wabah. "Seperti virus, jika infodemi ini dibiarkan akan makin merusak dan mempersulit penanganan wabah," tuturnya.
Baca juga Memerangi Korona Melalui Literasi Media dan Informasi
Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengingatkan agar pemerintah tidak menggunakan pasal pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, untuk menjerat masyarakat yang berujar di sosial media.
"Misalnya dalam kasus Jerinx (I Gede Ari Astina) yang dijadikan tersangka karena dianggap diduga melanggar Pasal 28 Ayat (2) UU ITE (Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) dan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, menurut kami ini tidak tepat," tuturnya.
Seperti virus, jika infodemi ini dibiarkan akan makin merusak dan mempersulit penanganan wabah.
Menurut Asfinawati, pernyataan Jerinx yang dianggap kontraproduktif terhadap penanganan Covid-19 perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE. "Yang bersangkutan bisa diundang debat terbuka, sekaligus untuk menjadi edukasi bagi publik," katanya.
Sebelumnya, di Indonesia juga banyak beredar informasi klaim obat-obatan dan penyembuhan yang belum teruji secara ilmiah. Selain itu, juga berkembang bahwa Covid-19 merupakan rekayasa.