Cegah Dampak Duet Maut, Area Rawan Kebakaran dan Covid-19 Dipetakan
Peta desa rawan kebakaran hutan dan lahan ditumpang susun dengan data Covid-19. Ini diharapkan dapat memfokuskan perhatian, personel, dan sarana prasarana untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan warga.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyinergikan peta area rawan kebakaran hutan dan lahan serta data Covid-19. Langkah ini untuk mencegah kebakaran sejak dini dan mengurangi risiko gangguan kesehatan pada masyarakat.
Asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengakibatkan gangguan pernapasan. Ini dikhawatirkan kian memberatkan kondisi warga yang tertular virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, yang juga menyerang pernapasan manusia.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman, Jumat (14/8/2020), mengatakan, pencegahan karhutla tahun ini disinergikan dengan penanganan Covid-19. KLHK dan Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan tumpang susun (overlay) peta 1.200 desa rawan karhutla dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19.
Patroli rutin pun dilakukan di desa-desa tersebut untuk mencegah dan menemukan titik api seawal mungkin serta menyosialisasikan bahaya karhutla. Tujuannya agar api dipadamkan sedini mungkin sehingga tak menimbulkan asap parah yang mengganggu pernapasan warga.
Ruandha mengakui, pandemi Covid-19 menimbulkan kendala terhadap pencegahan dan penanganan karhutla. Kebijakan keluar masuk wilayah dengan sejumlah persyaratan tertentu untuk mencegah penyebaran Covid-19 membuat sosialisasi penanganan karhutla tidak bisa berjalan optimal. Upaya pemadaman api juga semakin kompleks karena petugas harus tetap menerapkan protokol Covid-19.
Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jarwansyah menyebutkan delapan zona paling rawan terkait penanganan Covid-19. Empat dari delapan zona rawan tersebut yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Papua, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan analisis dini karhutla, daerah yang berpotensi tinggi muncul titik panas pada Agustus dan September yakni Jawa Barat bagian barat, Jawa Tengah bagian utara, Jawa Timur bagian tengah, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, dan Papua bagian selatan.
Titik panas berkurang
Sementara itu, titik panas dan luas area karhutla turun signifikan tahun ini. Ruandha Agung Sugardiman memaparkan, berdasarkan pantauan satelit Terra/Aqua sejak 1 Januari hingga 13 Agustus 2020, terdeteksi 1.207 titik panas.
Jumlah ini menurun signifikan dibandingkan dengan 2019 pada periode sama, yaitu terdeteksi 3.639 titik panas. Artinya, terdapat penurunan 2.432 titik panas atau 66,83 persen.
Selain titik panas, luas area karhutla tahun ini juga mengalami penurunan 53,1 persen. Analisis citra satelit Landsat 8/Oli, luas areal terbakar sampai Juli 2020 yakni seluas 64.602 hektar, masing-masing di tanah mineral seluas 47.668 hektar dan gambut seluas 16.934 hektar. Pada periode yang sama tahun lalu, luas area terbakar mencapai 137.007 hektar.
”Ada enam provinsi yang sudah menetapkan siaga darurat, yaitu Riau sejak Februari, Jambi sejak Juni, serta Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Ini merupakan antisipasi dari pemerintah daerah sehingga ada kerja sama dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Penerapan TMC
Penurunan titik panas dan luas area terbakar diyakini disebabkan hujan buatan melalui penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Teknologi ini dilakukan di sejumlah wilayah rawan sejak Januari. Hasil operasi pada 24 Juli-10 Agustus 2020 menghasilkan volume air hujan 14,4 juta meter kubik.
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengatakan, penerapan TMC difokuskan di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Di wilayah tersebut perlu diantisipasi kemunculan titik panas secara masif pada periode Agustus-September.
Dari TMC juga dihasilkan persentase penambahan curah hujan di wilayah Riau sebesar 22,4 persen, Sumatera Selatan 29,8 persen, dan Jambi 26,2 persen. ”Kami sudah memiliki rencana TMC kembali tetapi jadwalnya sedikit mundur karena pertimbangan teknis dan administrasi. Namun, masih dalam koridor di mana potensi awan masih bisa dilakukan TMC sehingga bisa dijatuhkan hujannya sesuai target di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan,” ujarnya.
Selain itu, ke depan, kata Yudi, BPPT bersama KLHK; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); Badan Restorasi Gambut (BRG); serta sejumlah lembaga terkait lain akan mengembangkan sistem deteksi dini TMC berdasarkan kecerdasan buatan. Sistem ini akan mengolah data kejadian karhutla dan dipadukan dengan prediksi cuaca atau iklim.