Keputusan pemerintah yang memperbolehkan pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning saat wabah belum terkendali sekarang ini menempatkan anak-anak kian rentan tertular Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Menutup sekolah berkepanjangan telah berdampak negatif bagi perkembangan anak, selain memicu berbagai masalah sosial. Namun, pembukaan kembali sekolah di tengah wabah bisa memicu masalah lebih besar sehingga perlu strategi untuk mengurangi risikonya.
Selain dampak bagi anak, terutama bagi mereka yang kesulitan menjalankan sekolah daring karena keterbatasan jaringan internet, penutupan sekolah juga banyak dikeluhkan orangtua. Banyak orangtua menyatakan tidak dapat kembali bekerja optimal sampai anak-anak mereka kembali ke sekolah.
Situasi ini menyebabkan banyak negara mulai membuka kembali sekolah. Di Indonesia, sebagian sekolah yang berada di zona hijau telah dibuka.
Bahkan, Jumat (7/8/2020), pemerintah secara resmi telah mengumumkan bahwa sekolah yang berada di zona kuning diperbolehkan untuk menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah. Keputusan membuka atau tetap menutup kegiatan belajar di sekolah ini bergantung pada keputusan kepala daerah dan komite sekolah.
Para epidemiolog telah memperingatkan, pembukaan sekolah sebelum wabah terkendali bakal memicu ledakan wabah. Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan, ledakan penularan Covid-19 setelah pembukaan sekolah itu, misalnya, terjadi di Korea Selatan, Israel, dan kini Amerika Serikat.
Dicky mengatakan, sekolah hanya boleh dibuka jika transmisi virus di komunitas sudah sangat kecil dan bisa dikendalikan. Ditandai dengan jumlah kasus per hari kurang dari 1 kasus per 100.000 orang dengan syarat jumlah tes yang dilakukan sudah memenuhi syarat.
Padahal, sejauh ini, jumlah tes secara nasional masih di bawah standar minimal 1 per 1.000 per minggu, dan hanya Jakarta yang konsisten memenuhinya. ”Dari situasi epidemiologis, sekolah di Indonesia belum bisa dibuka,” katanya.
Beben Benyamin, epidemilog yang mengajar di University of South Australia, mengatakan, di Australia sekolah hanya dibuka di negara bagian yang sudah tidak ada transmisi lokal. Misalnya, di South Australia yang penambahan kasus hariannya rata-rata 0-3 orang sejak perengahan April 2020, sekolah-sekolah sudah dibuka.
Namun, di Victoria, yang mengalami peningkatan kasus, sekolah masih ditutup. Sebagai perbandingan, pembatasan mobilitas antarwilayah dengan kasus harian masih tinggi di Australia sangat ketat sehingga zonasinya bisa terukur. Berbeda dengan Indonesia, yang antarzona hampir tidak ada pembatasan mobilitas. Orang dari zona hijau bisa dengan mudah pindah ke zona merah dan sebaliknya.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira mengatakan, syarat epidemiologis pembukaan sekolah seharusnya tidak bisa ditawar. Ini karena anak-anak terbukti bisa tertular dan juga menularkan.
Analisis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap sekitar 6 juta kasus infeksi secara global menemukan, proporsi orang berusia 15-24 tahun yang tertular Covid-19 naik menjadi 15 persen pada 12 Juli, dari sebelumnya 4,5 persen pada 24 Februari. Sementara anak-anak berusia 5-14 tahun yang terinfeksi naik menjadi 4,6 persen terinfeksi, dari sebelumnya hanya 0,8 persen.
Jumlah kasus Covid-19 pada anak-anak di Indonesia usia 6-18 tahun mencapai 6,8 persen, lebih tinggi dari rata-rata global. Selain itu, jumlah kematian anak di Indonesia juga lebih tinggi dari banyak negara lain, yang menunjukkan kerentanan anak-anak di Indonesia terhadap Covid-19 sangat tinggi.
Gagal mengendalikan
Masalahnya, di Indonesia pengendalian wabah masih jauh dari harapan. Ketika kemudian kita gagal memperluas zona hijau, yang dilakukan adalah mengizinkan pembukaan sekolah di zona kuning. Ini jelas pertaruhan besar.
Bahkan, jika pun wabah mulai terkendali, ”risiko nol” tidak akan pernah terjadi selama pandemi belum benar-benar dieliminasi dari seluruh muka Bumi. Kini, yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risiko penularan.
Harvard TH Chan School of Public Health telah membuat panduan tentang bagaimana mengurangi risiko penularan saat pembukaan sekolah. Ada lima langkah yang direkomendasikan, yaitu kelas sehat, bangunan sehat, aktivitas sehat, jadwal sehat, dan kebijakan sehat.
Dengan berbagai langkah tersebut, sekolah tatap muka pasti tetap berisiko menjadi kluster penularan baru, sebagaimana pembukaan perkantoran. Untuk itu, langkah cepat untuk mengevaluasi perkembangan sangat dibutuhkan.
Jika ditemukan penularan di sekolah atau lingkungan sekitarnya, harus segera ditutup kembali. Selain itu, kesiapan tes masif dan pelacakan kontak harus dilakukan guna mengeliminasi kluster penularan. Siapkah kita?