Sebagian besar perawat yang menangani kasus Covid-19 mengalami depresi. Bahkan, mereka juga menerima stigmatisasi atau dicap negatif oleh orang-orang di sekitarnya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak buruk bagi kesehatan mental tenaga kesehatan. Survei terhadap perawat dari Aceh hingga Papua menemukan, lebih dari separuhnya mengalami kecemasan dan depresi. Situasi diperparah dengan adanya stigmatisasi.
”Survei kami menemukan, sebagian besar perawat mengalami kecemasan dan depresi dengan berbagai gejalanya. Bahkan, ada yang ada yang kepikiran untuk mengakhiri hidup,” kata Herni Susanti, dosen keperawatan jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), di Jakarta, Senin (3/8/2020).
Herni mengatakan, survei ini dilakukan oleh peneliti dari Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan UI bekerja sama dengan Divisi Penelitian Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) pada bulan April hingga Mei. Survei diikuti 2.132 perawat dari seluruh Indonesia yang bertugas di berbagai pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas, yang menangani pasien Covid-19.
Dengan menggunakan alat ukur self-reporting questionnaire, survei menemukan sebanyak 55 persen atau 1.172 perawat mengalami kecemasan dan depresi. Gejala yang dominan di antaranya kehilangan nafsu makan sebanyak 87 persen; yang merasa cemas, tegang dan khawatir 70 persen; sakit kepala 68 persen; tidak bisa tidur nyenyak 57 persen; ketakutan 55 persen; serta sejumlah gejala lain. Bahkan, ada 1,4 persen yang terpikir untuk mengakhiri hidup.
Menurut Herni, tekanan terhadap para perawat ini diperparah dengan stigmatisasi. Survei menemukan semua reponden merasakan stigmatisasi, di mana 26 persen merasakan stigma yang tinggi dan 74 persen merasakan stigma yang rendah.
Selain itu peneliti juga menemukan adanya stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami secara nyata oleh 389 perawat atau 18 persen dari responden. Berbagai bentuk stigma yang dialami itu di antaranya orang-orang sekitar menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga mereka dikucilkan, dilarang menikahi mereka, hingga ancaman diceraikan oleh suami atau istri.
Stigmatisasi yang mereka alami ini sangat berat, di tengah tekanan pekerjaan yang meningkat.
”Stigmatisasi yang mereka alami ini sangat berat, di tengah tekanan pekerjaan yang meningkat. Banyak perawat yang jadi sukarelawan di rumah sakit khusus itu harus bertugas sampai tiga bulan,” ujarnya.
Herni menduga, tekanan terhadap tenaga kesehatan, termasuk perawat, saat ini semakin menguat. Apalagi, belakangan banyak orang tidak percaya pada Covid-19 dan menganggapnya rekayasa.
”Dengan kondisi kasus Covid-19 yang tidak turun-turun, bahkan pasien tambah lagi, secara fisik teman-teman nakes (tenaga kesehatan) ini pasti sudah sangat lelah. Ini memengaruhi kondisi psikososial mereka. Harusnya ada pergantian, tetapi situasi tidak memungkinkan. Jadi, kami hanya berharap wabah bisa secepatnya dikendalikan,” katanya.
Menurut Herni, stigmatisasi juga dipicu oleh rendahnya pengetahuan publik tentang wabah ini dan bagaimana penularannya. Oleh karena itu, dia berharap semua pihak, termasuk media massa maupun pengguna media sosial tidak menyebarkan informasi keliru tentang Covid-19, dan pemerintah juga diminta tegas terkait hal ini.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Laporcovid19.org, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhilah mengatakan, stigmatisasi telah menambah beban bagi para perawat yang saat ini berjibaku menghadapi pandemi. ”Sejauh ini ada 19 laporan stigmatiasi yang dialami anggota kami. Salah satu yang paling parah penolakan terhadap jenazah perawat saat hendak dikuburkan,” katanya.
Data dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), hingga saat ini terdapat 58 perawat yang meninggal terkait Covid-19. Sementara data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter yang meninggal sebanyak 73 orang.
Masalah Global
Tekanan mental terhadap tenaga kesehatan di Amerika Serikat seperti dilaporkan dalam jurnal Frontiers in Psychology pada 30 Juli 2020. Studi ini menyimpulkan, rata-rata, tenaga kesehatan melaporkan gejala depresi klinis.
”Apa yang kami temukan menunjukkan, para tenaga kesehatan, apakah itu dokter atau pekerja pendukung di rumah sakit, berisiko terhadap masalah kesehatan mental yang dapat menghancurkan kehidupan mereka jika dibiarkan tidak diobati,” kata Shevaun Neupert, profesor psikologi di North Carolina State University, yang turut dalam studi ini dalam keterangan tertulis.
Untuk studi ini, para peneliti melakukan survei daring terhadap 90 tenaga kesehatan meliputi dokter, perawat dan teknisi medis, dan tenaga administrator rumah sakit. Para peneliti juga menyurvei kelompok kontrol yang terdiri dari 90 orang yang tidak bekerja di layanan kesehatan, tetapi sesuai dengan usia dan jenis kelamin petugas layanan kesehatan. Studi ini berjalan dari 20 Maret hingga 14 Mei. Peserta studi berasal dari 35 negara.
Survei ini mencakup pertanyaan demografis, serta pertanyaan yang bertujuan menangkap berbagai aspek kesehatan mental dan kesejahteraan. Tenaga kesehatan melaporkan tingkat stres, kecemasan, dan kelelahan yang lebih tinggi, serta perasaan kontrol yang lebih rendah terhadap hidup mereka.
”Kami juga menemukan bahwa kelompok kesehatan rata-rata skor gejala depresi yang memenuhi syarat sebagai depresi klinis,” kata Neupert. ”Itu kira-kira 30 persen lebih tinggi daripada skor gejala depresi untuk kelompok kontrol.”