Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri menargetkan tidak ada lagi alat kesehatan bermerkuri pada tahun 2020. Pemenuhan target ini terkendala alat pengganti dan depot penyimpanan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah telah berkomitmen menghapus alat kesehatan yang mengandung merkuri dengan membuat kebijakan dan melakukan langkah-langkah strategis. Namun, penghapusan alat kesehatan bermerkuri ini masih menemui sejumlah kendala, seperti ketiadaan alat pengganti dan depot penyimpanan.
Hal tersebut disampaikan pemerinta daerah (pemda) dalam konferensi video evaluasi pelaksanaan penghapusan alat kesehatan (alkes) bermerkuri yang diselenggarakan Direktorat Kesehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Senin (3/8/2020).
Konferensi video diikuti oleh tiga provinsi, yakni Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Sumatera Barat. Evaluasi akan dilakukan bertahap untuk daerah lain selama 10 hari atau sejak 3 hingga 12 Agustus 2020.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kepulauan Riau (Kepri) Budi Hartanto menyampaikan, fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di Kepri telah melakukan penggantian alkes bermerkuri secara bertahap. Fasyankes juga sudah mengajukan penggantian alkes kepada dinkes.
Alkes yang sudah ditarik masih disimpan di gudang atau ruangan milik fasyankes.
”Alkes yang sudah ditarik masih disimpan di gudang atau ruangan milik fasyankes. Saat ini, dinas kesehatan sedang melakukan pendataan terhadap fasyankes yang masih menggunakan alkes bermerkuri,” ujarnya.
Berdasarkan data Dinkes Kepri, hingga 29 Juli 2020, baru terdapat 15 dari total 32 rumah sakit yang telah melaporkan penghapusan alkes bermerkuri. Sementara dari total 87 puskesmas, tercatat baru 24 puskesmas yang melakukan kebijakan serupa.
Menurut Budi, penghapusan merkuri dari fasyankes tidak bisa dilakukan secara optimal karena belum ada pengganti untuk alkes nonmerkuri. Penggantian alkes ini juga bergantung pada anggaran yang tersedia di setiap fasyankes ataupun Dinkes Kepri.
Selain itu, kendala lain adalah daerah belum memiliki depot penyimpanan untuk alkes bermerkuri yang ditarik dari setiap fasyankes. Dinkes Kepri pun mengusulkan untuk membangun depot penyimpanan agar upaya penghapusan alkes bermerkuri dapat segera tercapai.
Ketiadaan depot penyimpanan juga menjadi kendala penghapusan alkes bermerkuri di Bengkulu. Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinkes Bengkulu Akhmad Yuliansyah menyampaikan, ketiadaan depot penyimpanan ini membuat pelaksanaan penghapusan alkes bermerkuri baru sebatas pendataan dan belum dilakukan penarikan.
Dinkes Begkulu mencatat, fasyankes di Bengkulu terdiri dari 24 rumah sakit, 179 puskesmas, beberapa klinik, serta laboratorium kesehatan. Dari jumlah tersebut, baru 58 fasyankes atau 28,57 persen yang telah melaporkan penghapusan alkes bermerkuri.
Alkes prioritas
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imran Agus Nurali mengatakan, saat ini masih banyak alkes bermerkuri yang ada di setiap fasyankes. Namun, alkes yang menjadi prioritas penghapusan antara lain termometer, sfigmomanometer (alat ukur tekanan darah), amalgam gigi, baterai, dan lampu atau alat pencahayaan.
Imran menjelaskan, tersedianya alat baru nonmerkuri membuat penggantian alkes bermerkuri tidak sulit. Salah satu contohnya adalah tersedianya termometer digital serta termometer berbasis alkohol dan galinstan sebagai pengganti termometer merkuri.
Berdasarkan data Kemenkes, laporan realisasi penghapusan alkes bermerkuri masih rendah. Hingga 29 Juli 2020, baru 13 persen fasyankes di seluruh Indonesia yang melapor telah menghapus alkes bermerkuri. Selain itu, tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Papua, juga sama sekali belum melaporkan jumlah fasyankes yang menghapus alkes bermerkuri.
Indonesia telah berkomitmen menghapus merkuri sesuai dengan hasil Konvensi Minamata pada 2013 lalu. Komitmen ini juga dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM).
Perpres tersebut merupakan pedoman bagi setiap kepala daerah dalam menyusun dan menetapkan RAD-PPM provinsi atau RAD-PPM kabupaten/kota. Perpres juga menargetkan tidak ada lagi alkes mengandung merkuri pada 2020. Sementara dua tahun lalu atau pada 2018 tercatat masih terdapat lebih dari 21.000 alkes bermerkuri.
Proses pengelolaan
Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Direktorat Pengelolaan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yunik Purwandari mengatakan, KLHK sebagai instansi penanggung jawab telah menetapkan strategi dan target pencapaian sesuai dengan Perpres No 21/2019.
Yunik menjelaskan, pengelolaan alkes bermerkuri dimulai dari proses pengumpulan, penyimpanan sementara, pengangkutan, penyimpanan di depot penyimpanan, hingga dilakukan pengolahan atau ekspor. Pengelolaan tersebut dilakukan setiap dinas kesehatan dan berkoordinasi dengan dinas lingkungan hidup di daerah.
Proses penyimpanan di depot dilakukan pada fasilitas yang disediakan KLHK di 34 provinsi. Pada proses ini juga dilakukan uji petik pemeriksaan alat kesehatan mengandung merkuri paling sedikit 20 persen dari seluruh kemasan sekunder yang dikirim ke depot penyimpanan.
”Uji petik ini untuk meyakinkan kembali bahwa alkes bermerkuri yang tadi sudah dikemas secara primer ataupun sekunder tidak mengalami kerusakan. Kalau ditemukan kerusakan kemasan ataupun ketidaksesuaian informasi, harus dilakukan pemeriksaan terhadap seluruh kemasan sekunder dari fasyankes yang sama,” ujarnya.