Sejumlah pihak mendorong agar penerbitan aturan anti-SLAPP tak sekadar wacana. Peraturan untuk melindungi pegiat lingkungan ini juga disarankan pada level perundang-undangan yang dipatuhi lintas lembaga/kementerian.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan segera menerbitkan peraturan perlindungan bagi masyarakat pembela lingkungan agar direalisasikan. Penyusunan draf tersebut telah berlarut-larut dan seiring waktu terjadi intimidasi, kriminalisasi, penganiayaan, dan dugaan pembunuhan pada individu serta kelompok masyarakat, akademisi, dan aktivis.
Menurut Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Nasional (Walhi Eknas) Boy Jerry Even Sembiring, Jumat (24/7/2020), peraturan yang dikenal dengan istilah anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) ini dipersiapkan pemerintah sejak 2018. Bahkan, saat Walhi beraudiensi pada Februari 2019, kata Boy, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut draf tersebut telah final.
Di sisi lain, Boy juga menilai peraturan menteri anti-SLAPP kurang kuat melindungi pembela HAM sektor lingkungan hidup. Ini karena penegak hukum di luar KLHK, seperti Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan instansi lain, sulit tunduk pada aturan setingkat menteri. Karena itu, ia mendorong agar anti-SLAPP disusun dalam peraturan presiden (perpres) atau bahkan peraturan pemerintah.
Walhi dan organisasi masyarakat sipil lain mengusulkan pengaturan anti-SLAPP bisa digabungkan dengan penerbitan peraturan pemerintah atau perpres turunan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. (Boy Jerry Even Sembiring)
”Walhi dan organisasi masyarakat sipil lain mengusulkan pengaturan anti-SLAPP bisa digabungkan dengan penerbitan peraturan pemerintah atau perpres turunan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup),” ungkapnya. Pasal itu mengatur sistem penegakan tindak pidana lingkungan hidup terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring pun mengatakan, peraturan menteri anti-SLAPP tak cukup melindungi pembela lingkungan. Ia menyarankan agar juga dilakukan penguatan aturan atau pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
”Namun, peraturan menteri harus tetap ada sebagai arahan umum. Kemudian penguatan KUHAP dan diikuti peraturan internal di institusi penegak hukum lainnya,” tuturnya.
Raynaldo menilai kerumitan dalam penyusunan aturan anti-SLAPP bisa saja menjadi penyebab peraturan menteri ini lama disahkan. Sebab, dalam UU No 32/2009 masih banyak norma yang sangat umum sehingga butuh kajian lebih untuk menyesuaikan dengan sistem hukum di Indonesia.
Berkaca dari kondisi saat ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menganggap komitmen negara untuk melindungi pembela HAM, khususnya di sektor lingkungan, masih sangat rendah. Berlarutnya masalah ini juga membuat ia skeptis peraturan menteri anti-SLAPP akan segera disahkan.
”Sekalipun peraturan menteri ini disahkan dalam waktu dekat, mungkin akan berat di pelaksanaannya ke depan. Cara terbaik tentu tetap mendorong agar aturan ini dapat segera disahkan,” ucapnya.
Penerbitan aturan anti-SLAPP bertujuan untuk mencegah dan menangani tindakan pembalasan kepada orang yang memperjuangkan lingkungan hidup. Rencana penerbitan aturan ini disampaikan Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Asaad dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).
Ilyas menyampaikan, draf peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan anti-SLAPP sudah cukup baik dan tinggal menunggu waktu tepat untuk diterbitkan. Ia juga menegaskan, KLHK tetap menerima masukan dari sejumlah pihak apabila draf peraturan menteri tersebut dianggap belum sempurna.