Kehidupan kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup pada hutan, seperti Orang Rimba, kian tertekan oleh pandemi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Relasi antara hutan dan kehidupan bagi beberapa komunitas kelompok masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia sangatlah tinggi.
Namun, kehidupan mereka yang telah terancam oleh kegiatan pemanfaatan hutan yang tak lestari, kini juga dihadapkan pada pandemi Covid-19.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf, Rabu (8/7/2020), mencontohkan relasi antara masyarakat adat dan hutan tersebut dapat dilihat dari kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Jambi. Mereka memegang prinsip bahwa ketika hutan telah habis, kiamat akan terjadi.
Pada masa pandemi Covid-19, menurut Rudi, Orang Rimba yang hidup di pinggir hutan bergeser semakin ke dalam hutan dan memperkecil kelompok permukiman. Hal ini dilakukan untuk menghindari interaksi dengan orang luar.
Di pelosok hutan yang minim sumber pangan karbohidrat, mereka hanya mengandalkan hewan buruan. Kehidupan mereka semakin tertekan karena tidak ada lagi masyarakat di luar hutan yang membeli hewan buruan Orang Rimba.
Selama ini Orang Rimba menjual buruan untuk membeli pangan.
”Kami belum tahu jelas kenapa efek Covid-19 tiba-tiba menghentikan pembelian babi hutan hasil buruan Orang Rimba. Selama ini Orang Rimba menjual buruan untuk membeli pangan,” katanya dalam diskusi daring Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sama halnya dengan masyarakat umum, suku Anak Dalam juga mengenal istilah jaga jarak untuk mencegah penularan penyakit menular. Mereka menyebutnya dengan istilah besesandingon, yang prinsipnya memisahkan orang yang sakit dengan orang yang sehat.
Hutan juga memiliki arti yang sangat penting untuk kehidupan bagi masyarakat komunitas tradisional dan adat di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka memiliki aturan adat bahwa apa yang diambil manusia dari alam itu harus dikembalikan kembali kepada alam.
Selain suku Anak Dalam, suku Punan di Kalimantan juga menerapkan hal serupa. Mereka melihat hutan sebagai air susu ibu. Ketergantungan mereka terhadap hutan sangat tinggi. Suku Punan menganggap tanpa hutan mereka tidak bisa hidup.
Melihat tingginya relasi antara hutan dan kehidupan ini, Rudi menegaskan bahwa mengelola sumber daya alam (SDA) harus dengan rambu-rambu kearifan lokal. Sejumlah pihak juga harus mengelola hutan secara lestari. Hal ini penting karena sumber penghidupan lahir dari hutan yang terpelihara.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain, menerapkan skema pasar karbon sukarela, pengasuhan pohon, dan belanja produk masyarakat lokal. Dukungan lain juga bisa dilakukan dengan keberpihakan pada kebijakan pengelolaan SDA pro-rakyat dan menghentikan kegiatan ilegal yang merusak lingkungan.
”Kita dapat melakukan perilaku ramah lingkungan dengan mengurangi sampah plastik, hemat energi, atau mengurangi penggunaan kertas. Perilaku ini kalau kita lakukan akan memiliki korelasi dengan hutan meskipun tidak secara langsung,” ujarnya.
Guru Besar Riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK Sri Suharti menyatakan, ketergantungan pada energi biomassa hutan akan meningkat terutama selama dan setelah pandemi Covid-19. Hal ini karena rantai pasokan sumber energi lain terganggu produksinya.
Selain itu, hutan sangat berperan untuk pemulihan pascapandemi sebagai jaring pengaman bagi masyarakat perdesaan. Berdasarkan penelitian Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di 24 negara, produk hasil hutan berkontribusi pada penyediaan bahan pangan, pendapatan, dan keanekaragaman nutrisi untuk sekitar 20 persen dari populasi global terutama segmen masyarakat rentan.
Realisasi program
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada San Afri Awang mengatakan, pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor, tak terkecuali lingkungan hidup dan kehutanan. Dampak itu membuat berhentinya industri hulu dan hilir, menurunnya ekspor dan pendapatan, hingga berhentinya proses perizinan pengelolaam hutan.
San Afri menuturkan, kegiatan pascapandemi Covid-19 harus mulai disiapkan untuk memanfaatkan dan menjaga hutan. Kegiatan itu seperti merealisasikan program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan pemberdayaan masyarakat serta mempercepat perizinan program perhutanan sosial. Diperlukan juga pengembangan komoditas jangka pendek, menengah, dan panjang serta pengadaan modal bagi petani.
Sejumlah kegiatan tersebut menurutnya perlu dilakukan karena realisasi program untuk pemanfaatan dan perlindungan hutan masih sangat rendah. Padahal, banyak program pemanfaatan hutan yang telah disusun dan dibuat kebijakannya baik oleh pusat maupun daerah.
San Afri menegaskan, rakyat dapat memanfaatkan dan melindungi hutan jika diberikan kepercayaan dengan dukungan iptek ataupun dana dari Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) KLHK.
”Masalahnya saat pandemi apakah BLU sudah memiliki terobosan untuk mempercepat pemberian dana modal kerja kepada rakyat. Ini krusial karena kebijakannya ada tetapi actionnya tidak ada,” ujarnya.