Penyaluran insentif bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19 masih lambat akibat prosedur yang berbelit. Padahal, para tenaga medis tersebut menanggung beban kerja tinggi dan berisiko tertular penyakit itu.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 mengalami beban kerja berlebih dengan risiko tertular sangat tinggi. Namun, hingga saat ini banyak di antara mereka yang belum mendapatkan insentif yang dijanjikan.
"Beban kerja dan risiko para tenaga kesehatan makin besar. Ini tidak hanya terjadi di rumah sakit rujukan Covid-19, tapi juga semua layanan kesehatan. Sementara itu, insentif yang dijanjikan belum ada karena prosedur berbelit," kata Eva Sri Diana, dokter spesialis paru yang juga menjadi Anggota Gugus Tugas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Menurut Eva, gaji dan renumerasi yang didapatkan tenaga kesehatan saat ini justru berkurang karena jumlah pasien non-Covid-19 menurun, sedangkan biaya rumah sakit membengkak.
Beban kerja dan risiko para tenaga kesehatan makin besar. Sementara itu, insentif yang dijanjikan belum ada karena prosedur berbelit.
"Banyak nakes (tenaga kesehatan), terutama yang bertugas di rumah sakit swasta, berkurang penghasilan hingga 50 persen. Padahal, mereka harus membeli alat pelindung diri (APD) sendiri karena jatah terbatas," kata dia.
Eva, yang bekerja di salah satu rumah sakit umum (RS) daerah dan RS swasta di Jakarta mengatakan, pasien Covid-19 saat ini tidak hanya dirawat di rumah sakit rujukan. Namun juga banyak yang datang ke RS swasta.
"Kondisi tenaga kesehatan non pegawai negeri sipil lebih berat, apalagi kalau sampai mereka tertular. Keluarganya juga harus dikarantina. Ini ada perawat kami yang begitu, suaminya tidak bisa kerja, tapi penghasilan dia dipotong," tuturnya.
Selain itu, gaji ketiga belas yang sudah dibayarkan juga direvisi. "Saat ini gaji kami dipotong sampai tiga bulan ke depan untuk mengembalian gaji ketiga belas itu," katanya.
Beban berat juga dialami oleh Sugih Wibowo, dokter Puskesmas Camba di Kabupaten Maros, yang seorang diri merawat ratusan orang yang dinyatakan positif Covid-19 di di Hotel Haper, Makassar. "Saat ini ada 193 pasien positif yang saya tangani. Mereka kebanyakan OTG (orang tanpa gejala) atau gejala ringan. Sebagian yang disini tenaga kesehatan yang juga positif," ujarnya.
Sugih awalnya mengajukan diri sebagai dokter relawan sejak 25 Mei 2020 dan meninggalkan keluarganya di kampung. "Seharusnya kontraknya hanya dua minggu, berakhir 7 Juni lalu. Tetapi sudah diperpanjang dua kali karena tidak ada dokter lain yang menggantikan. Terakhir kontrak saya diperpanjang tanpa dikasih tahu, saat saya sudah mau pulang," ungkapnya.
Menurut Sugih, sebagai satu-satunya dokter di fasilitas isolasi itu, dia harus berjaga 24 jam. Sekalipun tidak ada gejala berat, namun banyak yang alami tekanan mental. Ada yang mau bunuh diri, ada yang keguguran dan pendarahan. Semua pasien itu harus ditanganinya bersama dengan perawat.
Sugih sebenarnya telah terbiasa menjadi dokter relawan dan terjun dalam gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah serta Lombok. Dia juga turut jadi relawan di saat wabah gizi buruk di Asmat, Papua. "Saya tergerak untuk jadi relawan kemanusiaan. Saya juga disumpah sebagai dokter. Saya tidak pernah menanyakan insentif, tapi kalau ditanya apakah ada insentif, sampai sekarang belum ada," tuturnya.
Dia menambahkan, untuk sementara ingin pulang dulu ke rumah dan beristirahat. "Kasih waktu dulu untuk bertemu keluarga. Anak saya masih tiga bulan. Saya dengar sudah ada dokter lain yang mau menggantikan," kata Sugih.
Robert Naiborhu (47), dokter spesialis paru satu-satunya di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Rivai, Berau, Kalimantan Timur, yang telah merawat pasien Covid-19 sejak awal wabah, juga mengaku belum mendapat insentif. "Klaim sudah dierima, tapi katanya menunggu uang dari pusat. Kalau uang dari rumah saki sudah habis buat renovasi gedung guna menambah fasilitas perawatan dan pembelian bahan," ujarnya.
Ketua Ikatan Dokter Umum Indonesia Abraham Andi mengatakan, sebagian tenaga kesehatan sebenarnya sudah mendapatkan insentif. "Untuk DKI Jakarta, yang bertugas di Wisma Atlet dari pengakuan rekan-rekan sudah terima insentif. Tetapi, untuk daerah memang belum," katanya.
Humas IDI Halik Malik mengharapkan agar pemerintah menyegerakan pemberian santunan dan tanda jasa kepada dokter dan tenaga kesehatan lain yang meninggal dalam penanggulangan Covid-19. "Terhadap dokter yang bertugas agar mendapat jaminan keselamatan dan perlindungan, serta apresiasi sepatutnya," ungkapnya.
Sederhanakan prosedur
Dalam keterangan tertulis pada Rabu (1/7), Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan, insentif untuk tenaga kesehatan yang membantu menangani Covid-19 tersalurkan Rp 408 miliar. Penyaluran dana insentif ini didasari pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19.
Hal itu merupakan revisi dari keputusan menteri kesehatan (Kepmenkes) sebelumnya, yang dianggap prosedurnya berbelit. Dalam Kepmenkes sebelumnya, verifikasi dokumen pengajuan insentif dilakukan dari tahap Fasyankes atau dinas kabupaten/kota, provinsi, lalu ke Kemenkes, baru diserahkan ke Kementerian Keungan. Kini, verifikasi dokumen hanya sampai tingkat provinsi dan langsung diajukan ke Kementerian Keuangan.
Dalam Kepmenkes yang baru ini, rumah sakit yang dapat mengajukan insentif tidak hanya yang rujukan Covid-1, tetapi juga rumah sakit lain yang memang menangani pasien Covid-19. "Mudah-mudahan ini berjalan lancar dan karena revisi Kepmenkes juga kita selesaikan minggu lalu, maka minggu ini kita akan lakukan sosilaisasi ke teman-teman daerah," ujarnya.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, per 3 Juli 2020, ada 1.301 kasus baru Covid-19 19 sehingga total ada 60.695 kasus. Adapun total kasus sembuh 27.568 kasus dan total kematian 3.036 kasus.
Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menilai, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar bisa memicu masalah kesehatan. Untuk itu, evaluasi PSBB transisi mesti berkala. (DEONISIA ARLINTA/SHARON PATRICIA)