Proses untuk memperoleh sertifikat minyak sawit berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) masih menemui sejumlah kendala.
Oleh
Pradipta Pandu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses memperoleh sertifikat minyak sawit berkelanjutan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO masih menemui sejumlah kendala. Dibutuhkan penguatan di sejumlah sektor dan kerja sama dari berbagai pihak agar sertifikasi yang bersifat sukarela ini bisa terakses para petani sawit.
Margaretha Nurrunisa dari WWF Indonesia dalam diskusi daring ”Strategi Pendampingan Petani Swadaya menuju Sertifikasi RSPO”, Senin (22/6/2020), menjelaskan, proses sertifikasi RSPO untuk petani swadaya cukup kompleks. Dari pengalamannya melakukan pendampingan kepada petani, proses ini dibagi dalam tiga tahap dengan keseluruhan waktu selama tiga tahun.
Tahap awal atau tahun pertama adalah mengidentifikasi segala hal tentang petani di suatu wilayah. Proses yang dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi kelompok tani, daya dukung perusahaan kelapa sawit dan pemerintah daerah, serta kondisi perkebunan.
Proses sertifikasi RSPO untuk petani swadaya cukup kompleks.
Pada tahap atau tahun kedua, hal yang dilakukan adalah memastikan dan mengontrol petani untuk konsisten menerapkan praktik pada tahun pertama. Konsistensi tersebut dapat diwujudkan dengan membentuk dan membangun sistem pengelolaan organisasi petani. Setelah itu, mereka juga dapat menyosialisasikan program kepada petani anggota.
Langkah selanjutnya, yaitu pengawasan, inspeksi, serta perencanaan dan perbaikan, dilakukan pada tahun ketiga. Apabila semua konsistensi dan tahapan telah dilaksanakan, petani baru dapat dinyatakan menerapkan perkebunan berkelanjutan dan mendapatkan sertifikat RSPO.
Meski demikian, WWF mencatat proses untuk RSPO ini masih menemui sejumlah kendala di lapangan. Beberapa kendala tersebut adalah basis data petani atau kelompok tani tidak valid, ada tumpang tindih lokasi kebun petani dengan hak guna usaha dan kawasan hutan, serta jumlah tenaga penyuluh minim.
Kendala lain yang ditemui adalah sulitnya mengurus STDB dan SPPL.
”Kendala lain yang ditemui adalah sulitnya mengurus STDB (surat tanda daftar budidaya) dan SPPL (surat pernyataan pengelolaan lingkungan) karena pemangku kepentingan tidak memahami konteksnya,” ujar Margaretha.
Agar kendala tersebut dapat teratasi, WWF Indonesia merekomendasikan agar petani dapat dianggap sebagai bagian dari penghasil buah kelapa sawit yang berkelanjutan. Selain itu, dibutuhkan juga pemetaan partisipatif yang didukung semua pihak untuk menertibkan kepemilikan STDB bagi petani.
”Setiap stakeholder (pemangku kepentingan) punya spesialisasi atau SDM dalam bagian proses sertifikasi ini. Kolaborasi dan kerja sama menjadi penting agar sertifikasi cepat terealisasi,” ungkapnya.
Fadly Fadhillah dari Yayasan Penelitian Inovasi Bumi (Inobu) mengatakan, dalam mendampingi petani memperoleh sertifikasi RSPO, tantangan yang kerap dijumpai adalah membangun militansi dengan para petani. Militansi ini penting karena koordinasi atau pertemuan rutin sangat menyita waktu dan tenaga.
Selain itu, tantangan lainnya adalah mengembangkan keterampilan dalam pengelolaan dan pemenuhan administrasi. Keterampilan ini juga berguna untuk membina kader lokal, dampingan, membuat bimbingan teknis, dan fasilitasi.
”Selain sertifikasi sebagai bentuk pembuktian komitmen terhadap upaya pengelolaan sawit berkelanjutan, lebih dari itu sertifikasi ini bertujuan memperbaiki tata kelola budaya kebun dan kepatuhan pada aturan. Semuanya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Semuanya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan petani.
RSPO merupakan organisasi keanggotaan nirlaba internasional yang dibentuk pada 2004. RSPO bersama pemangku kepentingan bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan yang memenuhi standar global.
Apabila RSPO bersifat sukarela (voluntary), dengan tujuan di antaranya untuk memenuhi persyaratan pasar, Indonesia memiliki sertifikasi bersifat wajib atau Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan (ISPO). Sertifikasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia ini berlaku bagi petani, pengusaha perkebunan, dan industri pengolahan minyak kelapa sawit.