Lahan Bekas Tambang Berpotensi untuk Areal Pertanian
Meski memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan sifat fisik yang jelek, lahan bekas pertambangan dapat berpotensi dimanfaatkan untuk pertanian bila dilakukan rehabilitasi dan penyuburan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lahan bekas kegiatan pertambangan memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan sifat fisik yang jelek. Upaya rehabilitasi dan penyuburan membuat lahan bekas pertambangan berpotensi dimanfaatkan sebagai areal pertanian.
Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Fahmuddin Agus menyampaikan, lahan bekas pertambangan pada umumnya mengalami kerusakan morfologi. Ini didasarkan dari hasil-hasil riset yang dilakukannya.
Agus dan tim dari Kementan pada 2016-2019 meneliti lahan bekas tambang timah di Bangka Tengah, Bangka Belitung. Pada 2016-2018, ia juga meneliti lahan bekas tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Tanah bekas tambang batubara di Kutai Kartanegara mudah tererosi.
Berdasarkan dua hasil penelitian tersebut, Agus menyimpulkan bahwa lahan bekas tambang memiliki kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah akibat kerukan alat berat. Hal inilah yang membuat lahan bekas tambang memiliki tingkat kesuburan yang rendah.
”Tanah bekas tambang batubara di Kutai Kartanegara mudah tererosi, termasuk erosi jurang karena banyaknya rongga pada profil tanah timbunan,” ujar Agus dalam webinar bertajuk ”Degradasi Tanah: Telaah Teknis dan Kebijakan Rehabilitasi Pasca Tambang” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Pengembangan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (17/6/2020).
Meski tingkat kesuburan rendah, kandungan logam berat pada tanah bekas tambang berada di bawah ambang batas yang dapat ditoleransi. Artinya, bila telah direhabilitasi, tanah bekas tambang aman untuk ditanami tanaman produksi dan dikonsumsi manusia.
Sejumlah cara untuk merehabilitasi tanah ini, kata Agus, dapat menggunakan cara levelling atau perataan tanah. Setelah itu, tanah tersebut diberi bahan organik, seperti pupuk kandang dan pupuk hijau, untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan aktivitas biologi tanah.
Di sisi lain, soal perbaikan sifat tanah yang mudah erosi caranya dengan menggunakan teknik konservasi. ”Cover crop (tanaman penutup tanah), mulsa, sistem pertanaman lorong dapat mengatasi masalah tersebut,” kata Agus.
Dengan upaya-upaya tersebut, ia menyatakan bahwa tanah bekas pertambangan dapat berpotensi dimanfaatkan untuk produksi tanaman sayuran pangan, tanaman tahunan, rumput pakan, dan ternak. Keuntungan pertanian tersebut juga dapat diperoleh pada tahun ketiga dan tahun selanjutnya.
Kewajiban reklamasi
Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB University, Iskandar, menyatakan, dalam proses perizinan aktivitas pertambangan, pihak pemegang konsesi tambang diwajibkan melakukan reklamasi pada lahan yang mengalami degradasi. Jika kebijakan tersebut dilakukan, tidak menutup kemungkinan lahan bekas tambang dapat direhabilitasi dan dijadikan media tanam.
”Banyak sekali perusahaan pertambangan yang berhasil melakukan reklamasi, tetapi juga banyak yang belum. Kami berharap perusahaan yang belum menerapkan reklamasi dapat belajar dari perusahaan lain dan menerapkan ke daerah pertambangannya,” katanya.
Iskandar menjelaskan, reklamasi lahan tambang dapat dilakukan dengan cara pengupasan lapisan tanah di lokasi yang akan ditambang. Setelah itu, dilakukan penataan lahan dengan cara mengembalikan batuan limbah ke lubang tambang setelah kegiatan penambangan selesai.
Namun, ia menyebut bahwa kadar keasaman atau pH tanah tambang lebih rendah daripada tanah hutan sehingga memerlukan ameliorasi. Proses ameliorasi adalah upaya pembenahan kesuburan lahan melalui penambahan bahan-bahan tertentu, seperti bahan organik, anorganik, ataupun kombinasi dari keduanya.
Salah satu cara untuk meningkatkan pH tanah dapat menggunakan faba atau limbah padat dari pembakaran batubara pada pembangkit tenaga listrik. ”Selain pH tanah, faba juga cocok untuk meningkatkan beberapa unsur hara,” ujar Iskandar yang juga merupakan mantan Kepala Pusat Studi Reklamasi Tambang LPPM-IPB.