”Pool Testing” Tingkatkan Kapasitas Tes PCR
Menggunakan pool testing, Universitas Andalas dan Pemprov Sumbar dapat menguji 3.000 sampel per hari, lebih tinggi dibandingkan Balitbangkes dan Lembaga Molekuler Eijkman. Saatnya tinggalkan tes cepat yang tidak akurat.
JAKARTA, KOMPAS — Semakin longgarnya pembatasan sosial diterapkan membutuhkan peningkatan kedisiplinan individual dan upaya testing yang masif untuk mencegah terjadinya penyebaran yang kian meluas. Metode pool testing diyakini bisa meningkatkan kapabilitas tes Indonesia yang masih rendah.
Pool testing mengacu pada metode untuk menggabungkan beberapa sampel ke kelompok kecil (pool) kemudian diuji bersama. Hal ini dengan tujuan memperbesar sekaligus mempercepat kapabilitas testing.
Metode ini telah diterapkan Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Andani Eka Putra. Sebanyak lima sampel ia gabungkan menjadi satu dalam viral transport medium (VTM), kemudian diuji sekaligus.
Jika tes keluar negatif, artinya kelima sampel tersebut negatif. Apabila ada yang positif, baru tes individual dilakukan terhadap setiap sampel. Dengan demikian, tes dapat dilakukan dan relatif lebih efisien.
”Kita bisa menghemat pemeriksaan berkisar 66-75 persen,” kata Andani saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Kini kapasitas laboratorium yang dipimpinnya tersebut mencapai 3.000 sampel per hari. Kapasitas ini lebih besar dibandingkan sampel yang dapat dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. ”Saya rasa kami ini satu-satunya daerah yang kekurangan sampel,” kata Andani.
Publikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, kemampuan analisis laboratorium yang dipimpin Andani lebih besar dibandingkan Kementerian Kesehatan dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Baca juga : Lembaga Eijkman Meningkatkan Kapasitas Tes PCR
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pernah menyebut kapasitas Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan adalah 1.700 sampel per hari. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada April lalu menyatakan memiliki kapabilitas menguji PCR hingga 600 sampel per hari.
24 jam sehari
Selain penggunaan metode pool testing, Andani mengatakan, laboratoriumnya juga berjalan 24 jam sehari, diawaki oleh 55 anggota. Skema ini, kata dia, juga terus divalidasi tingkat keberhasilannya dengan mengirim sampel ke Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Pakar biologi molekuler Adelaide University, Australia, Fatwa Adikusuma, mengatakan, metode VTM memiliki risiko dilusi atau pengenceran sampel RNA yang dapat mengurangi akurasi tes.
Namun, menurut Fatwa, pool yang terdiri dari lima sampel masih tergolong memadai. ”Kalau sampel yang digabung tidak terlalu banyak, dilusi RNA-nya tidak memberikan efek buruk, yakni false negative,” kata Fatwa saat dihubungi dari Jakarta.
Di sisi lain, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko menilai sebetulnya metode ideal testing diagnostik adalah secara individual.
Namun, untuk melakukan efisiensi sumber daya testing, strategi yang menurut dia dapat dilakukan adalah pengujian bertarget. Sebaran statistik kasus positif dapat digunakan untuk menentukan populasi yang memiliki kemungkinan besar memiliki kasus positif.
”Kita bisa melihat persebaran kasus yang paling banyak dan juga persebaran PDP dan ODP. Kalau tidak dikalkulasi, bisa kacau upaya testing kita dengan sumber daya yang terbatas ini,” kata Tri.
Tri mengatakan, di Jakarta, ada delay antrean pengujian sampel dengan durasi 3-4 hari. Jadi, laporan yang diumumkan hari ini adalah sampel yang masuk pada beberapa hari yang lalu.
Jumlah pengujian yang dilakukan Indonesia memang tergolong kecil. Hingga 14 Juni lalu, berdasarkan data Our World In Data, Indonesia hanya melakukan tes kepada 0,03 per 1.000 orang.
Dibandingkan Korea Selatan atau Iran, kedua negara tersebut 8-9 kali lebih banyak. Iran telah melakukan pengujian 0,27 per 1.000 orang, sedangkan Korea Selatan pada angka 0,24.
Tinggalkan tes cepat
Dengan kapasitas tes yang besar, maka penggunaan tes cepat (rapid test) untuk kebutuhan diagnostik dapat ditinggalkan, kata Andani. Penggunaan uji PCR dapat lebih akurat menemukan orang yang benar-benar terinfeksi. Dengan demikian, rantai penularan dapat diputus.
Andani mengatakan, Sumbar juga melaksanakan program T2IT (tracing, test, isolation, dan treatment). Tracing secara masal dilakukan dengan uji PCT, yang positif tanpa gejala diminta karantina mandiri, yang memiliki komorbiditas atau penyakit penyerta dirawat di rumah sakit khusus Covid-19.
Andani mengatakan, di Sumbar, penumpang yang tiba dari bandara mendapat tes PCR gratis. Tes gratis ini juga dilakukan kepada para pekerja wisata dan karyawan hotel serta murid sekolah asrama.
”Indeks infeksi kami sekarang sudah turun. Awal-awal masa pandemi 5-6 persen. Sekarang 1,9 persen,” kata Andani.
Fatwa mengatakan, tes cepat memang bukan merupakan metode yang tepat untuk mendeteksi orang yang sedang terinfeksi. ”Karena antibodi ini munculnya belakangan. Antobodi justru terdeteksi paling jelas ketika pasien sudah sembuh,” kata Fatwa.
Tes cepat Covid-19 pada prinsipnya menguji keberadaan antibodi spesifik terhadap penyakit itu; bukan keberadaan partikel virus korona. Antibodi ini baru muncul beberapa hari setelah orang terkena infeksi.
Jadi, apabila tes cepat dilakukan pada jeda waktu antara terinfeksi virus dan antibodi muncul, hasilnya dianggap negatif.
Baca juga : Ratusan Sampel Usap Belum Diuji, BIN Tambah Alat PCR untuk Surabaya
Tes PCR 10 juta orang dalam 19 hari
Penggunaan pool testing untuk deteksi infeksi virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2 tidak hanya dilakukan di Sumbar. Dengan menggunakan pool testing, Pemkot Wuhan berhasil menguji hampir 10 juta penduduk kota tersebut dan menemukan 300 kasus positif tanpa gejala.
Sebanyak 9.899.828 warga Wuhan telah dites PCR dalam periode 19 hari; 14 Mei sampai dengan 1 Juni. Sebanyak 1.174 orang yang merupakan kontak dekat dari kasus positif tanpa gejala tersebut juga telah dites dan dikarantina. Berdasarkan laporan kantor berita Xinhua, tes PCR masif ini membutuhkan dana 126 juta dollar AS atau setara Rp 1,78 triliun dari anggaran pemkot.
Penggunaan pool testing untuk deteksi infeksi virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2 tidak hanya dilakukan di Sumbar. Dengan menggunakan pool testing, Pemkot Wuhan berhasil menguji hampir 10 juta penduduk kota tersebut dan menemukan 300 kasus positif tanpa gejala.
Stefan Lohse dan Thorsten Pfuhl dari Institute of Virology dari Saarland University Medical Center, Jerman, telah memublikasikan kerja pool testing yang mereka lakukan di jurnal medis The Lancet pada 28 April.
Lohse dan Pfuhl menggunakan berbagai ukuran pool, dari 4 sampel per pool hingga 30 sampel per pool. Dalam studi yang dilakukan pada 13-21 Maret tersebut, ditemukan bahwa untuk menemukan 23 individual positif dari 1.191 sampel, cukup melakukan 267 tes.
”Data menunjukkan bahwa membentuk pool yang terdiri hingga 30 sampel dapat meningkatkan kapasitas testing sekaligus menjaga akurasi diagnostik,” tulis Lohse dan Pfuhl.
Pool testing juga bukan hasil inovasi di masa pandemi Covid-19. Dalam studi yang dipublikasikan pada Journal of Clinical Microbiology pada 31 Desember 2014, sejumlah peneliti dari Aix Marseille Université Perancis dan Kementerian Kesehatan Arab Saudi menemukan bahwa pool testing dapat menghemat jumlah uji RT-PCR hingga 37 persen.
Dalam studi berjudul Cost-Effective Pooling of DNA from Nasopharyngeal Swab Samples for Large-Scale Detection of Bacteria by Real-Time PCR, Sophie Edouard dan kawan-kawan menguji 2.380 sampel DNA dari hasil usap nasofaring (nasopharyngeal swab), metode yang juga digunakan di masa Covid-19.
Sampel 2.380 spesimen tersebut dibagi ke dalam 119 pool, artinya, setiap pool berisi 20 spesimen. Strategi ini menunjukkan efektivitas yang tinggi; 86 persen spesifisitas dan 96 persen sensitivitas.
Sensitivitas artinya kemampuan mendeteksi orang yang memiliki penyakit yang dicari, sedangkan spesifitas mengacu pada kemampuan memastikan bahwa orang tersebut tidak memiliki penyakit tersebut.
Sensitivitas yang rendah akan membuat orang yang seharusnya positif dianggap negatif atau false negatives yang tinggi. Spesifisitas yang rendah akan mengeluarkan hasil false positives yang tinggi; seharusnya negatif, tetapi dianggap positif. Jadi, kedua parameter ini harus tinggi.