Kearifan Lokal Hanya Jadi Bumbu Pelengkap Kebijakan
Kearifan lokal masyarakat pesisir merupakan identitas dan budaya. Program serta kebijakan perikanan dan kelautan agar lebih masif memasukkan unsur ini di lapangan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan acap kali hanya menjadi bumbu pelengkap dalam berbagai kebijakan dan program di lapangan. Padahal, kekuatan sosial ini berperan penting dalam menjaga keindonesiaan dan memiliki prinsip praktik perikanan berkelanjutan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki segudang tradisi dan budaya pengelolaan laut tradisional dengan berbagai karakter keunikan dari Aceh hingga Papua. Pengelolaan perikanan, terutama wilayah perairan pantai yang terjangkau masyarakat tradisional, hendaknya difasilitasi negara secara serius untuk dikelola menurut pengetahuan lokal, diperkuat basis ilmu pengetahuan.
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun Ternate, Janib Achmad, menyatakan, secara konstitusi, kearifan lokal disebut dan diakui dalam perubahan kedua UUD 1945, pada Pasal 18 Bab IV.
Implementasi di sektor perikanan pun disebut secara gamblang dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan, pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Namun, dalam praktik di lapangan, secara birokratis terkendala regulasi turunan berupa peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri. Alhasil, dalam implementasinya, upaya memfasilitasi kearifan lokal itu hanya disisipkan sebagai tambahan kegiatan dalam program.
Masyarakat secara turun-temurun memiliki sejumlah praktik lokal, seperti sasi di Maluku dan Papua serta awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Dalam peraturan yang berlaku komunal tersebut, masyarakat memiliki aturan ataupun kesepakatan untuk menangkap jenis komoditas perikanan tertentu pada waktu tertentu, alat tangkap tertentu, dan jumlah/ukuran tertentu.
Sayangnya, sebagian praktik itu hilang akibat iming-iming kesejahteraan yang membawa pada eksploitasi sumber daya perikanan ataupun praktik aturan formal negara yang mengabaikan kearifan lokal tersebut. Alhasil, ketika praktik lokal yang membawa dampak baik pada lingkungan hilang, hal itu memunculkan berbagai persoalan global, seperti kepunahan spesies tertentu, pemanasan global, dan berbagai kerusakan alam.
Kearifan lokal merupakan kunci dalam konservasi sumber daya alam.
”Kearifan lokal merupakan kunci dalam konservasi sumber daya alam. Kearifan lokal bagian dari solusi bagi penyelesaian permasalahan global,” kata Janib dalam diskusi daring yang diselenggarakan kampusnya, Jumat (12/6/2020).
Diskusi itu juga menghadirkan Noviar Andayani (Country Director Wildlife Conservation Society-Indonesia Program), Luky Adrianto (Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University), dan Tiene Gunawan (USAID Sustainable Ecosystems Advanced Project).
Sepakat dengan Janib, Luky Adrianto pun menunjukkan sejumlah contoh program pemerintah yang menyinggung ”kearifan lokal” tapi tak berjalan dengan baik. Itu menunjukkan terdapat gap atau jurang pemisah untuk mengadopsi norma regulasi dalam manajemen sumber daya perikanan.
Sebagai contoh, Jepang memiliki perspektif kuat dalam memasukkan kearifan lokal dari Era Meiji ke dalam formal perundangan. Meski struktur pemerintahan setempat yang diakui adalah struktur formal, proses saat menjadi struktur formal itu diiringi napas kearifan lokal.
Dalam Ocean Policy Act Jepang, yang telah diubah tiga kali, terakhir tahun 2018, kata dia, dinamika sosial ekonomi berkembang dengan jelas melalui knowledge management system. Contohnya, pengaturan penangkapan ikan dalam perairan pada Era Meiji diturunkan dalam regulasi perikanan yang tidak memperbolehkan penangkapan ikan tanpa hak atau izin yang diberikan organisasi lokal, bukan negara.
”Tetapi, negara memfasilitasi how to do that,” kata Luky, dalam diskusi daring dalam kapasitas sebagai bagian dari Social Ecological System of the Oceans (SESO) Laboratory pada Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University.
Tiene Gunawan mengatakan, pada proyeknya, kearifan lokal merupakan bagian penting dalam program, bukan hanya tambahan. Membangkitkan kembali kearifan lokal yang tertidur ternyata membuahkan hasil dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan bagi masyarakat.
Seperti yang dilakukan dalam program PAAP RARE di Raja Ampat, upaya membangkitkan kearifan tradisional juga diikuti berbagai kegiatan lain berbasis ilmiah, seperti pemantauan dan pelatihan. ”Masyarakat dibuat mampu untuk berkegiatan dalam kearifan lokal,” tuturnya.
Selain sisi perikanan, masyarakat juga diajak melihat potensi sumber daya alamnya untuk dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan melalui ekowisata. Ia mengatakan hal ini menjadi bukti bagi masyarakat upaya perlindungan alam tidak hanya mendatangkan potensi perikanan, tetapi juga potensi ekonomi lain.