Audit kepatuhan perusahaan terkait pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan perlu kembali dilakukan. Itu membantu memperkuat sistem pencegahan dan mendorong perusahaan serius menyiapkan sarana terkait.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespons positif masukan sejumlah pihak agar ada audit kepatuhan perusahaan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Langkah awal yang pernah dilakukan pada 2014 itu bisa membantu memperkuat sistem pencegahan sekaligus mendorong perusahaan agar lebih serius menyediakan sumber daya manusia dan sarana prasarana terkait.
Audit kepatuhan bisa menjadi bukti awal untuk aparat melaksanakan penegakan hukum yang lebih serius, berupa pemberian sanksi administrasi, pidana, dan perdata. Pemerintah pun diminta transparan dalam pelaksanaan dan publikasi hasil audit itu.
Dalam diskusi yang digelar Asosiasi Profesor Indonesia (API) bersama Badan Restorasi Gambut (BRG), Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif, Senin (8/6/2020), mengatakan, audit kepatuhan yang sempat dijalankan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 2014 perlu dilanjutkan.
”Ini juga akan menggampangkan (kerja) penegakan hukum karena sudah ada auditnya. Kalau dia (korporasi) tidak comply (patuh), sudah jelas laksanakan strict liability (tanggung jawab mutlak),” katanya yang juga mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi.
M Syarif menekankan agar audit kepatuhan dilakukan secara transparan. Bisa saja, saat audit pertama, perusahaan berkelit belum siap atau tidak tahu akan persyaratan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Namun, jika kondisi dan respons perusahaan tak berubah signifikan, aparat agar memberikan sanksi serius.
Langkah transparansi juga sekaligus memberikan penghargaan bagi perusahaan yang mematuhi kelengkapan sarana-prasarananya. Itu berdampak pada timbulnya suasana kompetitif bagi perusahaan-perusahaan untuk memenuhi syarat dan kepatuhan akan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. ”Jangan lagi uang negara kita biarkan habis untuk melakukan pemadaman,” katanya.
Hasil audit kepatuhan di Riau pada 2014 menunjukkan tak satu pun perusahaan patuh. Bahkan yang ”kurang patuh” pun sangat sedikit karena sebagian besar ”tidak patuh”.
Verifikasi di lapangan
Bambang Hero Saharjo, Ketua Kluster Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan API, yang juga anggota kelompok ahli BRG, mengatakan, audit kepatuhan juga diiringi verifikasi di lapangan. Itu bertujuan mengecek pernyataan perusahaan akan ketersediaan sarana dan prasarana ataupun sumber daya manusia yang dikhususkan bagi penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Jangan lagi uang negara kita biarkan habis untuk melakukan pemadaman. (Laode M Syarif)
Ia menunjukkan saat verifikasi lapangan pernah menjumpai menara pengawasan yang terbuat dari kayu dan hanya setinggi 5 meter. Itu pun didirikan di atas konsesi yang baru terbakar. Hal itu menunjukkan menara pengawasan dibangun setelah konsesi terbakar.
Anggota kelompok ahli BRG dan dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Asmadi Saad, mengatakan, kepatuhan perusahaan untuk memenuhi sarana dan prasarana pengendalian karhutla saat ini jauh lebih baik. Sejumlah perusahaan menyediakan kamera pemantau berteknologi tinggi yang bisa digunakan untuk pengamatan area radius 4-10 kilometer. Kamera berbasis sinar inframerah itu mendeteksi keberadaan titik api sehingga sejak dini bisa dilakukan pemadaman.
Pada tahun-tahun lalu, ketersediaan sarana-prasarana sangat minim. ”Ada menara pengawas, tetapi monyet saja tidak mau naik, apalagi kita,” ujarnya untuk menggambarkan kondisi menara pengawas yang buruk.
Perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan kini berangsur-angsur memenuhi sarana prasarana karena ada penegakan hukum. ”Dengan penegakan hukum, perusahaan mau menyiapkan sarana prasarana. Karena kalau itu tidak dilakukan, maka akan ditindak sebagai kelalaian,” ungkapnya.
Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengakui masih terdapat korporasi yang minimalis dalam berinvestasi sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam penanganan karhutla. Karena itu, ia pun menyambut positif masukan agar pihaknya—maupun pemerintah— melakukan audit kepatuhan.
Sejauh ini, audit kepatuhan telah dijalankan di lapangan berupa pengawasan oleh pejabat pengawas KLHK dan pemerintah daerah. Hasil pengawasan lapangan itu antara lain menelurkan sejumlah sanksi administratif berupa paksaan pemerintah agar perusahaan memperbaiki kinerja pencegahan dan penanganan karhutla.
Bahkan, sejumlah perusahaan diberi sanksi penghentian kegiatan dan pencabutan izin. Terkait kebakaran hutan dan lahan tahun 2019, pihaknya menyegel 102 konsesi perusahaan yang terbakar. Pihaknya juga menindaklanjuti penyegelan dengan menjatuhkan sanksi administratif, perdata, dan pidana.
”Akan tetapi, dalam pertimbangan kami, ada beberapa perusahaan yang akan dilakukan audit kepatuhan. Kalau audit kepatuhan, area yang dilakukan pengawasan lebih luas lagi. Ini masukan penting untuk ditindaklanjuti,” katanya.