Deteksi Perilaku Orangutan dengan ”Machine Learning”
Untuk mengidentifikasi individu dan perilaku orangutan di Punggualas, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, WWF Indonesia memanfaatkan teknologi pengenalan wajah. Terobosan menarik untuk kepentingan konservasi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
The World Wide Fund Indonesia memanfaatkan teknologi pengenalan wajah untuk mengidentifikasi orangutan di Punggualas, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Deteksi orangutan ini bisa dipergunakan untuk mengenali perilaku orangutan beserta kelompoknya, yang sangat penting bagi pengelolaan habitat dan perlindungan hutan.
Teknologi bernama machine learning yang didapatkan dari Amazon Web Services (AWS) tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan bagi identifikasi pada spesies lain, seperti badak dan harimau sumatera. The World Wide Fund (WWF) Indonesia mengklaim, keakuratan sistem ini masih pada rentang yang panjang, yaitu 35-95 persen.
Aria Nagasastra, Direktur Keuangan dan Administrasi WWF Indonesia, Kamis (4/6/2020), dalam konferensi pers awal (embargoed press conference) secara virtual, mengatakan, kunci peningkatan keakuratan identifikasi terletak pada jumlah foto yang bisa dikumpulkan. ”Tergantung seberapa banyak gambar yang bisa didapatkan. Harus lebih banyak tempatkan kamera trap atau pegiat konservasi untuk menggunakan kamera resolusi tinggi,” katanya.
Mengumpulkan foto di alam liar tidaklah mudah. Orangutan dikenal pemalu saat mengetahui sinyal kehadiran manusia. Apabila perjumpaan didapatkan, foto orangutan yang memadai untuk melengkapi morfologi wajah pun tergantung dari sudut pengambilan yang tidak bisa diatur. Selain itu, efek pencahayaan matahari serta posisi perjumpaan sangat menentukan kualitas gambar.
Thomas Barano, Kepala Unit Ilmu Pengetahuan Konservasi WWF Indonesia, mengatakan, saat ini baru terdapat data gambar lima orangutan di Punggualas. Sementara jumlah orangutan yang tercatat mencapai 2.000 ekor dari total sekitar 6.000 ekor di Taman Nasional Sebangau.
WWF Indonesia mengatakan, apabila teknologi ini berhasil digunakan, pihaknya bisa mengaplikasikannya pada kantong-kantong habitat orangutan di tempat lain, termasuk Sumatera. ”Kalau pengembangan Punggualas bisa tuntas dengan fungsi dan aplikasi harian, lokasi sebaran orangutan lain bisa juga gunakan peralatan serupa. Karena model yang digunakan serupa,” ujarnya.
Ia mengingatkan, lagi-lagi hal tersebut membutuhkan upaya membangun basis data foto-foto morfologi orangutan. Konsekuensinya, hal tersebut memerlukan waktu dan berkejaran dengan ancaman kepunahan spesies dilindungi tersebut.
Vincent Quah, Regional Head Education, Research, Healthcare, and Nonprofit Organizations Asia Pacific Worldwide Public Sector AWS, mengatakan, pihaknya menjamin keamanan data. Ia menuturkan, kontribusi AWS di bidang konservasi sebelumnya telah dijalankan juga untuk spesies tasmanian devil di Australia dan burung kakapo di Selandia Baru.
”Konservasi adalah ruang besar bagi AWS,” katanya. Selain bidang konservasi, lanjutnya, penyediaan cloud computing perusahaan tersebut juga dimanfaatkan oleh pemerintah, kampus, sekolah, dan sejumlah organisasi.
Aria mengatakan, hasil komunikasi dengan WWF internasional, teknologi identifikasi ini diyakini sebagai yang pertama kali di dunia. Bahkan, ujarnya, ke depan WWF Malaysia juga tertarik untuk menerapkan teknologi serupa.
Ia mengatakan, teknologi identifikasi ini bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar di media sosial hingga menghitung dan mengidentifikasi sampah plastik di permukaan laut.