Wacana Normal Baru Kontraproduktif dengan Penanganan Pandemi Covid-19
Dengan kekurangannya, pembatasan sosial berskala besar telah menekan laju penularan Covid-19. Pemerintah diminta untuk tidak serta merta melonggarkan PSBB. Wacana normal baru pun perlu dimuati semangat lebih waspada.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga memesan makanan gudeg yang dijual oleh Sudarmi (63) di kawasan Demangan, Yogyakarta, Sabtu (30/5/2020). Selama berjualan, Sudarmi mengenakan face shield (penutup muka), masker, dan sarung tangan plastik untuk mengurangi risiko penyebaran virus korona jenis baru. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta masih menyusun prosedur standar operasi (SOP) penerapan tatanan normal baru dengan mengedepankan protokol kesehatan untuk mengurangi potensi penyebaran virus korona jenis baru di masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana tentang normal baru yang terus digaungkan sebelum kasus mereda menjadi kontraproduktif dan membuat wabah menjadi sulit diatasi. Pemerintah disarankan lebih mengedukasi publik bahwa wabah belum selesai dan setiap orang masih harus menerapkan perilaku hidup sehat dan aman agar bisa kembali produktif.
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede S Darmawan di Jakarta, Rabu (3/6/2020) mengatakan, pemodelan yang dilakukannya bersama tim IAKMI lain, yaitu Hermawan Saputra dan Ibnu S Joyosemito, ditemukan bahwa intervensi berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah menekan penularan Covid-19 di Indonesia.
Rata-rata kasus positif di bulan April menurun 4,5 kali dibandingkan pada Maret. Sementara kasus di bulan Mei dua kali lebih rendah dibandingkan pada April.
”Sekalipun banyak kelemahan, PSBB terbukti ada manfaatnya jika dilihat dari data riil yang dilaporkan harian. Sekalipun kasusnya belum bisa dianggap bisa terkendali,” kata Ede.
Data juga menunjukkan, pasien sembuh telah meningkat sekitar 1,2 kali lipat dan nilai rata-rata yang meninggal menurun di kisaran 3,2-3,4. ”Jika PSBB dilanjutkan, puncak pandemi Covid-19 di Indonesia diperkirakan terjadi pada pertengahan Juli 2020,” katanya.
Meskipun demikian, menurut Ede, puncak pandemi akan bergeser apabila PSBB dilonggarkan. ”Jika itu dilakukan, pada bulan Juli 2020 akan ada peningkatan prevalensi kasus 1,6 kali dibandingkan estimasi dengan kondisi saat ini,” ujarnya.
Menurut Ede, pemerintah sebaiknya mengedepankan sikap preventif dan mengubah strategi dalam mengomunikasikan risiko. ”Normal baru seharusnya menaikkan level kewaspadaan, dari perilaku lama yang jelas tidak bisa menahan Covid-19 dengan perilaku baru yang lebih sehat dan aman,” katanya.
Oleh karena itu, dia menyarankan pemerintah agar terus mengedukasi publik bahwa situasi tetap tidak normal dan agar masyarakat terus menjaga kesehatan. Pola hidup sehat, seperti mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak fisik ini harus lebih dikedepankan sekalipun sebagian sudah mulai bisa bekerja.
Kencangnya wacana normal baru justru membuat masyarakat mengalami euforia dan mulai melonggarkan pembatasan. Keramaian mulai terjadi, sementara perilaku hidup sehat dan aman belum terbangun.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Tes cepat Covid-19 dilakukan terhadap pegawai kantor kecamatan dan kelurahan Pemerintah Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (3/6/2020). Penyelidikan epidemiologi ditingkatkan sebelum memasuki normal baru.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono, dalam diskusi yang diselenggarakan INFID juga mengatakan, jika dijalankan dengan benar PSBB bisa membantu meredakan pandemi, walaupun tidak bisa menyelesaikan sampai ada vaksin. Hal ini haya bisa berjalan jika masyarakat dilibatkan.
"Masalahnya, peran masyarakat saat ini masih minim, padahal mereka garda terdepan, dan justru sekarang dibingungkan dengan pernyataan dan kebijakan yang tidak jelas," kata dia.
Menurut Pandu, data saintifik harus menjadi acuan dalam menentukan kebijakan terkait pandemi ini, dan ini harus menjadi bagian dari reformasi sistem kesehatan ke depan. "Para akademisi sebenarnya mau membantu, tetapi terlebih dahulu yang punya data harus mau membaginya. Ini sekarang mulai dilakukan Pemerintah DKI Jakarta sehingga harus diapresiasi. Semoga daerah lain juga mau berkolaborasi dengan para saintis," kata dia.
Deputi Bappneas Bidang Pembangunan Manusia Subandi Sardjoko mengakui, sistem kesehatan kita memang belum siap menghadapi pandemi ini. "Pandemi ini juga memberi pelajaran pentingnya reformasi sektor keehatan. Ini momentum untuk perbaikan," kata dia.
Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K. Susilo mengatakan, paradigma kesehatan di Indonesia harus diubah, dengan memprioritaskan menjaga kesehatan, bukan mengobati orang sakit. "Orang-orang kesehatan masyarakat harus lebih mendapat tempat. Perbesar proporsi untuk preventif," kata dia.
Dia menambahkan, situasi saat ini sangat memberatkan publik, terutama kelompok rentan. "Misalnya, kesehatan perempuan dalam kondisi normal saja jarang diperhatikan apalagi saat Covid-19 ini. Demikian juga masyarakat miskin, saat ini mengalami tantangan terberat," kata dia.
Kompas/Priyombodo
Petugas dari PMI Kota Tangerang menyemprotkan disinfektan di ruang kelas SD Negeri 1 Tangerang, Banten, Rabu (3/6/2020). Penyemprotan tersebut sebagai langkah sterilisasi lingkungan sekolah dari Covid-19. Banyak sekolah belum siap membuka kembali kegiatan belajar-mengajar tatap muka secara fisik. Para guru masih kesulitan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Sementara itu, banyak orang tua ragu untuk mengizinkan anak-anak mereka kembali bersekolah di tengah pandemi.