Pemulihan Ekonomi Bisa Sejalan dengan Perbaikan Iklim
Pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 bisa sejalan dengan upaya meredam laju perubahan iklim. Hal itu dapat terwujud jika setiap negara menerapkan pembangunan rendah karbon.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru terbukti mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara global karena berkurangnya mobilitas penduduk. Pemulihan ekonomi pascapandemi bisa sejalan dengan upaya meredam laju perubahan iklim jika setiap negara menerapkan pembangunan rendah karbon.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Arifin Rudiyanto dalam webinar di Jakarta, Kamis (28/5/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 memukul berbagai sektor. ”Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 akan minus 0,4 persen hingga 2,3 persen. Angka kemiskinan akan meningkat, juga rasio gini,” ujarnya.
Sektor pangan juga akan terpukul. Bahkan, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sudah memperingatkan ancaman krisis pangan global jika pandemi ini berkepanjangan. Namun, di sisi lain, sejumlah studi menunjukkan pandemi ini menyebabkan penurunan emisi karbon.
Studi Corinner Le Quérédari dari School of Environmental Sciences, University of East Anglia, Norwich, Inggris, dan tim di jurnal Nature Climate Change serta Timothy M Lenton dan tim di jurnal Nature edisi 27 November 2019 menyebut, emisi karbon saat ini turun lebih dari satu miliar ton dalam empat bulan pertama tahun ini dibandingkan periode sama pada 2019. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak Perang Dunia Ke-2.
Arifin mengatakan, pembangunan rendah karbon telah menjadi komitmen Indonesia dalam jangka panjang. Namun, target paling utama sekarang adalah menyelamatkan jiwa, dan setelahnya ekonomi harus dipulihkan.
Pemulihan ekonomi pascapandemi ini akan menghadapi sejumlah tantangan dalam hal mempertahankan rendahnya karbon. ”Pembangunan energi terbarukan akan terkendala karena harus bersaing dengan energi fosil yang harganya turun. Butuh komitmen besar untuk tetap mewujudkan energi terbarukan ini,” ujarnya.
Duta Besar Inggris Owen Jenkins mengajak Indonesia menerapkan prinsip membangun kembali lebih baik (build back better) bagi lingkungan yang berkelanjutan. ”Tantangan mempertahankan kebijakan rendah karbon pascapemulihan Covid-19 tak mudah, tetapi harus tetap dilakukan,” katanya.
Inggris yang akan menjadi tuan rumah Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mendatang akan terus berkomitmen memenuhi target pembangunan nol karbon pada tahun 2050. ”Untuk mencapai target ini, setiap lima tahun ada komite iklim yang mengevaluasi apakah kita sudah sesuai jalur. Kita bisa tunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan karbon rendah bisa tumbuh bersama,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam mengatakan, dalam rangka membangun kembali yang lebih baik tersebut, Indonesia bisa mendorong stimulus ekonomi hijau. Selain itu, dana publik harus dipakai untuk pembangunan rendah emisi. ”Kita bisa mendorong integrasi peluang iklim dalam sistem keuangan, dan ini banyak peluangnya,” ujarnya.
Medrilzam menambahkan, paket stimulus ekonomi hijau terbukti bisa meningkatkan ekonomi ramah lingkungan. Sebagai contoh, rehabilitasi bekas tambang timah untuk mangrove dengan stimulus sekitar Rp 2 miliar bisa memberikan manfaat penghasilan ekonomi Rp 60 juta per bulan untuk ratusan anggota kelompok warga lokal dan menarik investasi lanjutan Rp 22 miliar.
Momentum perubahan
Di sektor pertanian dan pangan, Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, pandemi kali ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki fondasi ekonomi nasional, salah satunya di sektor pangan dengan prinsip kemandirian.
”Kita perlu mendorong kembali gerakan menanam hingga skala rumah tangga dengan memanfaatkan pekarangan. Saya kira ini bisa efektif dan rendah karbon,” kata Arif.
Selain itu, kita harus mengoreksi ketergantungan pangan dari impor, misalnya gandum, yang trennya terus meningkat. ”Kita harus memanfatkan bahan pangan lokal. Lokalitas dan kemandirian pangan itu akan sejalan dengan pembangunan rendah karbon,” ujarnya.
Kita perlu mendorong kembali gerakan menanam hingga skala rumah tangga dengan memanfaatkan pekarangan. Saya kira ini bisa efektif dan rendah karbon.
Arif menambahkan, Indonesia harus meningkatkan efisiensi sejak dari produksi hingga distribusi untuk mengurangi kehilangan pangan dan juga mereduksi sampah makanan. ”Indonesia memiliki sampah pangan terbesar kedua setelah Arab Saudi,” ujarnya.
Mengutip laporan kajian studi McKinsey, Arif menyebut, pemerintah yang mengalokasikan dana untuk energi terbarukan dan efisiensi energi bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja dibandingkan yang menggunakannya untuk energi fosil.
Sebagai contoh, dari 10 juta dollar AS dana yang dikeluarkan untuk energi terbarukan, hal itu bisa menciptakan 75 pekerjaan dan untuk efisiensi energi bisa menciptakan 77 pekerjaan. Sementara jumlah uang yang sama jika dialokasikan di sektor minyak, gas, dan batubara hanya akan membuka 27 pekerjaan.