Laporan Kasus Covid-19 Harian Tidak Bisa Jadi Ukuran
Pemeriksaan massal masih menjadi kendala utama dalam penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Kondisi ini menyulitkan kita untuk menilai tingkat penyebaran secara waktu nyata.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemeriksaan massal masih menjadi kendala utama dalam penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Kurangnya pemeriksaan dan terlambatnya menunggu hasil tes menyebabkan pelaporan kasus infeksi di Indonesia terlambat hingga dua minggu. Kondisi ini juga menyulitkan kita untuk menilai tingkat penyebaran secara waktu nyata.
Informasi yang dirilis Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto, Minggu (10/5/2020), jumlah kasus terkonfirmasi positif di Indonesia 14.032 orang setelah ada penambahan 387 orang. Sementara jumlah kasus meninggal bertambah menjadi 973 jiwa setelah ada penambahan 14 orang. Sebanyak 2.698 pasien dinyatakan sembuh atau ada penambahan 91 orang.
DKI Jakarta masih memiliki kasus terbanyak, yaitu 5.190 orang, disusul Jawa Timur 1.502 kasus, Jawa Barat 1.437 kasus, Jawa Tengah 978 kasus, dan Jawa Timur 1.502 kasus. Di luar Jawa, kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Selatan 722 orang, disusul Kalimantan Selatan 263 kasus, dan Kalimantan Timur 218 kasus.
Akumulasi data tersebut diambil dari hasil uji spesimen sebanyak 158.273 dari 113.452 kasus dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) di 54 laboratorium.
Meski terjadi penambahan kapasitas pemeriksaan, jumlah pemeriksaan Covid-19 di Indonesia dinilai belum memadai. ”Target minimal 10.000 pemeriksaan per hari sampai sekarang belum terpenuhi,” kata peneliti biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit Iqbal Elyazar, dalam webinar.
Data yang dianalisis Iqbal dari laporan harian Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus yang diperiksa dengan pemeriksaan molekuler rata-rata masih di bawah 5.000 orang per hari. Pemeriksaan terbanyak tercatat pada anggal 11 April dan 9 Mei, yaitu masing-masing sekitar 7.000 kasus.
Data di worldometers.info, Indonesia baru melakukan pemeriksaan spesimen terhadap 552 orang per sejuta penduduk dan tergolong yang terendah di Asia. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan Filipina 1.439 orang per sejuta penduduk, Malaysia yang sudah memeriksa 7.573 orang per sejuta, atau Korea Selatan 12.949 orang per sejuta penduduk.
Pemeriksaan lambat
Antrean panjang dalam pemeriksaan, kata Iqbal, juga menyebabkan keterlambatan proses dan pengumuman hasilnya. ”Rata-rata butuh waktu seminggu hingga dua minggu sebelum hasil pemeriksaan diumumkan. Ini menyebabkan data yang diumumkan tiap hari bukanlah data baru, tetapi selalu terlambat dari kasus infeksinya,” tuturnya.
Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu dinyatakan kurva penularan di Jakarta sudah melandai. Namun jika dicermati, ada 486 kasus positif di Jakarta atau sekitar 10 persen dari total kasus di provinsi ini, yang tidak dijelaskan kapan pemeriksaannya.
”Jadi, kita jangan terburu-buru mengatakan kasus melandai. Kita semua berharap begitu, tapi jangan sampai tidak didukung data yang baik. Laju infeksi harian kita tidak sesuai dengan kasus riil, ada keterlambatan,” ujarnya.
Data yang dilaporkan Laporcovid.19.org berdasarkan mekanisme pelaporan warga, ditemui kasus di Jember, Jawa Timur, yang mengalami keterlambatan pengambil sampel hingga keluarnya hasil tes selama 17 hari. Selain itu, sulitnya mendapat pemeriksaan masih banyak dialami masyarakat.
Kita jangan terburu-buru mengatakan kasus melandai. Kita semua berharap begitu, tapi jangan sampai tidak didukung data yang baik. Laju infeksi harian kita tidak sesuai kasus riil, ada keterlambatan.
Keterbatasan dan keterlambatan tes ini menyebabkan banyak orang yang meninggal sebelum diperiksa atau sebelum keluar hasil tes molekulernya. Padahal, berdasarkan laporan di sejumlah daerah, rata-rata jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal sudah tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan yang meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.
Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan, 47 orang meninggal dengan status positif Covid-19. Sementara jumlah PDP dan ODP yang meninggal 101 orang. Di Jawa Timur, jumlah meninggal dengan status positif Covid-19 sebanyak 144 orang, sementara ODP dan PDP yang meninggal 453 orang.
Sejauh ini, pemerintah hanya mengumumkan korban Covid-19 di Indonesia hanya yang sudah terkonfirmasi dari tes molekuler. Akibatnya, data kematian di Indonesia bisa dianggap sebagai underreporting.
Padahal, pada 11 April 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memutakhirkan panduan penghitungan korban meninggal karena Covid-19. Disebutkan, mereka yang dinyatakan sebagai korban Covid-19 yang sakit dengan gejala diduga atau terkonfirmasi Covid-19, hingga terbukti bahwa penyebab kematiannya tidak terkait Covid-19, misalnya karena benturan.