Korupsi Struktural Eksploitasi Sumber Daya Alam Terus Terjadi
Fakta menunjukkan, sejumlah kasus mencolok terkait eksploitasi sumber daya alam ilegal hingga kini tak berhasil dihentikan pemerintah.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bukti nyata kerusakan dan pencemaran lingkungan di sejumlah daerah menunjukkan korupsi struktural yang melibatkan aparat pemerintah hingga penegak hukum serta korporasi masih terjadi. Korupsi yang dimulai dari tahap perencanaan, operasional, hingga pengawasan ini mengakibatkan kerugian negara dan masyarakat serta masa depan negara karena eksploitasi sumber daya alam hanya dinikmati segelintir orang.
Hal ini mengemuka dalam diskusi ”Evaluasi Pemberantasan Korupsi pada Sektor Sumber Daya Alam Sesi 1”, Rabu (6/5/2020), secara virtual. Tema diskusi ini digelar berseri oleh Pusat Studi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menghadirkan Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Kehutanan IPB University), Laode M Syarif (mantan komisioner KPK), dan Bevitri Susanti (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dengan penanggap Maryati Abdullah (Publish What You Pay/PWYP) dan Ahmad Fikri Hadin (Kepala Pusat Antikorupsi Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan).
Laode M Syarif menunjukkan sejumlah kasus mencolok eksploitasi sumber daya alam ilegal yang hingga kini tak berhasil dihentikan pemerintah. Sejumlah kasus seperti tambang emas di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku dan Bombana, di Sulawesi Tenggara.
Aparat penegak hukum sangat mudah menangani kasus-kasus kriminal biasa. Tetapi, untuk kasus-kasus pencemaran lingkungan seperti pembuangan limbah pabrik di sungai hingga lubang-lubang tambang sangat minim.
Ia yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Kemitraan mengatakan, aparat penegak hukum sangat mudah menangani kasus-kasus kriminal biasa. Tetapi, untuk kasus-kasus pencemaran lingkungan seperti pembuangan limbah pabrik di sungai hingga lubang-lubang tambang sangat minim. ”Kalau pembunuhan biasa, tidak ada uang besar berseliweran,” katanya.
Dengan demikian, ia mengatakan, state captured corruption atau korupsi terstruktur tersebut meliputi tindakan pemerintah yang memfasilitasi perusakan/penyelewengan uang negara dengan kebijakan atau regulasi, membiarkan kejahatan lingkungan di depan mata, dan mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan lingkungan dan sumber daya alam.
Ia mengatakan, peluang korupsi dalam bisnis terkait sumber daya alam dimulai dari perencanaan. Contohnya, kebijakan dan kongkalikong dalam penetapan tata ruang dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Kemudian pada tahap pemanfaatan, ia menunjukkan beberapa kasus janggal seperti korupsi yang melibatkan pengusaha Hartati Moerdaja terkait kebun sawit di Buol, Sulawesi Tengah. Meski di pengadilan terbukti penyuapan akan izin prinsip perkebunan sawit, pemerintah masih menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan dengan dasar izin prinsip tersebut. ”Saya tidak nyaman (dengan kasus ini). Harusnya (izin prinsip) batal itu karena didapat dari menyuap tapi izin prinsip tetap dinyatakan berlaku dan menjadi dasar pelepasan kawasan,” katanya.
Kasus lain terkait putusan DL Sitorus sejak tahun 2006 yang hingga kini belum bisa dieksekusi pemerintah. Padahal, pengadilan telah menetapkan kebun sawit seluas 80.000 ha tersebut dikembalikan ke negara. Bahkan, hingga DL Sitorus meninggal dan digantikan anaknya sebagai pemimpin perusahaan, putusan itu hingga kini belum bisa dieksekusi. Catatan Kompas, terkait kasus ini, tahun lalu, mantan Ketua KPK Agus Raharjo pada saat Festival Gakkum di KLHK pernah menjanjikan menyelesaikan kasus ini sebelum periodenya berakhir di KPK.
Kemudian dari sisi pengawasan dan penegakan hukum. Ia menyebut sejumlah sektor seperti kasus tambang belum pernah ada satu kasus yang disidik oleh penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal tersebut menurut dia aneh karena kerusakan dan pencemaran akibat tambang—bahkan puluhan anak meninggal di lubang tambang—sangat mencolok.
Laode Syarif pun mendorong penegak hukum agar memahami anatomi dan jaringan pada perundangan sektor. Kepada KPK, ia berharap tidak hanya berfokus pada UU Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga mempelajari UU sektor.
Menurut dia, ini penting dilakukan KPK karena hingga kini kementerian/lembaga yang ”bertanggungjawab” menjalankan UU sektor tersebut terkesan melakukan pembiaran. ”Sebenarnya, kan, tidak perlu ada penyidikan korupsinya kalau (kementerian/lembaga) menjalankan UU dengan baik,” katanya.
Ia mengatakan, pencegahan kerusakan lingkungan dan tergerusnya SDA bisa ditekan jika tiap sektor menjalankan perannya. Ia menyebut, akan lebih mudah kementerian/lembaga memberikan sanksi administrasi hingga pidana kepada perusahaan yang ”nakal” dibandingkan dengan mengandalkan KPK yang berada di ujung penegakan hukum dalam mengungkap korupsinya.
”Jadi kalau (korupsi/perusakan lingkungan) difasilitasi negara itu susah, saya harap KPK RI tetap istiqomah memberantas korupsi SDA,” katanya.
Hariadi Kartodihardjo mengatakan, pencegahan korupsi pada sumber daya alam—seperti tambang, sawit, dan kehutanan—sangat relevan karena memiliki potensi ekonomi tinggi. Karena itulah, sejak tahun 2015, KPK mencanangkan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam sebagai strategi untuk mencegah kerugian negara dari eksploitasi SDA.
Selama lima tahun sejak pencanangan gerakan tersebut, ia menjumpai tumpang tindih perizinan maupun praktik buruk birokrasi dalam memanfaatkan celah regulasi. Ia menemukan perusahaan yang telah beroperasi 13 tahun di kawasan hutan yang tiba-tiba diputihkan menjadi areal pemanfaatan lain (APL).