Para Guru yang Rela Blusukan agar Murid Tetap Belajar
Di kota besar, belajar jarak jauh saat pandemi Covid-19 relatif bisa dilaksanakan. Namun, di daerah-daerah, kebijakan itu terhambat beragam persoalan. Banyak guru terpaksa blusukan demi memastikan para siswa belajar.
Oleh
Melati Mewangi / Abdullah Fikri Ashri / Cornelius Helmy Herlambang / Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
Bagi masyarakat di perkotaan, belajar dalam jaringan atau daring di tengah pandemi Covid-19 relatif berjalan lancar karena tersedianya jaringan internet dan sarana lain yang cukup memadai. Namun, di sejumlah daerah, sistem pembelajaran jarak jauh ini sulit dilakukan. Para guru pun terpaksa keliling kampung demi mengajar murid-muridnya.
Untuk Dodi Riana (37), guru di SD Negeri Jayamekar, Kampung Bantaka, Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, belajar daring merupakan dunia baru yang tak mudah. Sebagian warga di daerah itu, termasuk keluarga murid-muridnya, dibekap kemiskinan dengan segala persoalannya.
Sekolah itu tak bisa menggelar belajar jarak jauh karena sebagian orangtua siswa tak memiliki ponsel pintar. Saat sekolah ditutup, para guru terpaksa blusukan menyambangi murid-muridnya. ”Kami (para guru) harus berjalan sekitar satu jam untuk sampai di desa paling ujung agar siswa dapat belajar,” kata Dodi saat dihubungi pada Rabu (29/4/2020).
Pada situasi normal, sebelum pandemi Covid-19 merundung Indonesia, tiga guru di sekolah yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Jakarta ke arah selatan itu harus menangani 94 siswa. Ini membuat setiap guru memegang dua kelas sekaligus. ”Pada hari biasa, kami sudah kewalahan. Sekarang kami harus menempuh jarak jauh karena harus berjalan kaki,” ucapnya.
Bersama Mulyana (35), guru lainnya, Dodi berangkat menuju kampung tempat tinggal siswa. Sebelumnya, mereka mampir ke sekolah untuk mengambil buku pelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6.
Para siswa di sekolah itu berasal dari sejumlah kampung, antara lain Bantaka, Panyusupan, Ciheulang, dan Cipait. Kunjungan diatur agar merata ke semua siswa.
Hari Senin dan Selasa adalah agenda berkunjung ke rumah siswa di kampung terjauh dari sekolah, yakni Kampung Pojok, Desa Muaracikadu. Jalan ke sana berupa jalan setapak yang hanya bisa dilewati pejalan kaki. Dodi menitipkan sepeda motor di desa sebelah kemudian dilanjutkan berjalan kaki 4-5 kilometer menuju kampung itu.
Lelah selama perjalanan sirna saat bertemu para siswa. ”Mereka menunggu kedatangan kami untuk belajar di rumah,” ujar Dodi.
Dodi dan Mulyana membagikan masker kain kepada siswanya untuk dipakai saat pelajaran. Upaya pencegahan Covid-19 tetap dilakukan. Karena tidak bisa bertatap muka setiap hari, para murid diberi cukup banyak pekerjaan rumah agar bisa dikumpulkan pekan depan.
Kesulitan serupa dialami Saini (47), guru kelas 1 SDN 1 Tegalkarang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Keterbatasan akses teknologi dari orangtua siswa membuat dia berkeliling kampung demi mengajar 33 siswanya secara langsung. Menggunakan sepeda motor, dia melintasi areal persawahan untuk ke rumah siswa.
Jika ada siswa yang rumahnya berdekatan, Saini memilih satu rumah untuk berkumpul. Itu pun jumlahnya dibatasi lima orang agar tak terjadi kerumunan. Protokol pencegahan Covid-19 diterapkan dengan mengajak siswa mencuci tangan dengan sabun. Guru itu selalu pakai masker dan menjaga jarak lebih dari 1 meter dengan siswa.
Dalam sepekan, Saini berkeliling hingga empat kali untuk mengajar, masing-masing sedikitnya selama satu jam. Acap kali ia membawa spidol dan papan tulis sendiri. ”Anak-anak butuh belajar. Seminggu tak ketemu, anak yang mulai bisa membaca ternyata lupa lagi,” kata Saini, yang telah menjadi guru selama 17 tahun.
Sebagian pelajar di beberapa daerah juga kesulitan mengikuti belajar dengan jaringan internet. Contohnya para pelajar di SMKN 1 Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sebagian besar pelajar di sekolah ini berasal dari keluarga tidak mampu yang tidak punya telepon genggam, tidak mampu membeli paket data internet, atau tinggal di pegunungan yang tak terjangkau sinyal.
Menurut Kepala SMKN 1 Cipeundeuy Deden Suryanto, sekitar 560 anak atau 80 persen dari total 700 siswa bisa mengikuti pelajaran jarak jauh. Namun, ada 140 anak yang kesulitan. ”Mereka kebanyakan yatim-piatu. Untuk makan saja susah, tidak punya telepon genggam. Ketika mengikuti ujian sekolah, mereka pinjam telepon genggam ke tetangga atau ke temannya,” ujarnya.
Para guru telah menyiapkan modul dan sistem pembelajaran digital untuk siswa dengan menggunakan aplikasi Webex, Google Classroom, atau Google Meet. Namun, banyak siswa di pegunungan yang kesulitan belajar. ”Jangankan untuk membuka aplikasi, terima telepon saja susah,” kata Deden.
Pembelajaran secara daring dan tatap muka melalui konferensi video disiasati dengan aplikasi yang mudah dibuka, yaitu Whatsapp. Para pelajar yang kesulitan sinyal di rumah diminta datang ke rumah teman dengan jaringan lebih baik. ”Berkelompok maksimal tiga orang,” kata Deden.
Sebagian pelajar merupakan pemegang Kartu Indonesia Pintar dan menerima bantuan sosial penanganan Covid-19 dari pemerintah. Namun, adanya kebutuhan yang lebih mendesak, seperti untuk membeli beras, membuat Deden tak bisa memaksa siswanya membeli telepon genggam atau paket data internet.
Buat mereka, belajar jarak jauh dengan jaringan internet adalah kemewahan.