Jangan Melemahkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Pemerintah diminta meninjau ulang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Aturan itu dinilai memperlemah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan akan berlaku sebulan lagi, tepatnya tanggal 27 Mei 2020. Sejumlah pihak berharap pemerintah membatalkan dan meninjau ulang peraturan yang dinilai melemahkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ini.
Peraturan ini meniadakan kewajiban dokumen V-Legal sebagai persyaratan ekspor pada produk-produk industri kehutanan. Hal ini membahayakan tata kelola hutan Indonesia dan melanggar perjanjian sukarela Indonesia-Uni Eropa.
”Kita melanggar FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement and Governance-Voluntary Partnership Agreement ),” kata Ahmad Maryudi, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (28/4/2020).
Perjanjian tersebut telah dituangkan dalam regulasi Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014 tentang Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa.
Dalam FLEGT-VPA disepakati bahwa Indonesia akan menjamin produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa dan non-UE diverifikasi legal dengan sistem yang sudah dibangun, yaitu SVLK. Dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020, dokumen V-Legal yang awalnya wajib dalam kesatuan SVLK kini hanya diberlakukan pada negara yang memintanya.
Maryudi mengatakan, pelanggaran ini berpengaruh pada portofolio Indonesia dalam hubungan internasional. Apalagi, SVLK menjadi unggulan dalam berbagai diplomasi perdagangan yang dilakukan Kementerian Luar Negeri.
Baca juga : Legalitas Kayu Diperlemah, Langkah Mundur Indonesia
Dampak dalam tataran praktik, Indonesia akan kehilangan keistimewaan saat produk industri kehutanannya memasuki pelabuhan-pelabuhan perdagangan negara EU dan Inggris. Selama ini, melalui VPA, Indonesia mendapatkan keistimewaan karena SVLK dianggap memenuhi FLEGT Uni Eropa. Hal itu membuat produk-produk industri kehutanan yang menggunakan dokumen V-Legal melintasi jalur hijau.
Uji tuntas
”Kalau tidak ada lagi VPA, kita masih bisa (ekspor) ke Eropa, tetapi dengan due dilligence (uji tuntas),” kata Maryudi. Proses uji tuntas ini berbeda-beda pada tiap negara, termasuk negara sesama Uni Eropa. Indonesia dengan ”melemahkan” SVLK bisa dianggap sebagai negara dengan risiko tinggi pasokan sumber kayu sehingga akan mendapat pengecekan lebih tuntas lagi. Hal itu akan berimplikasi terhadap biaya.
Saa dihubungi secara terpisah, Soewarni, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kayu Olahan dan Kayu Gergajian Indonesia (ISWA), menyayangkan regulasi Permendag No 15/2020 yang dinilainya juga melemahkan SVLK. Ia mengatakan, ISWA beserta sejumlah asosiasi industri kehutanan, masyarakat, sipil dan akademisi selama 10 tahun membangun SVLK hingga akhirnya diterima di dunia internasional.
Kalau tidak ada lagi VPA, kita masih bisa (ekspor) ke Eropa, tetapi dengan due dilligence (uji tuntas).
”Kita semua capek-capek susun SVLK agar keluar dari stigma negatif industri kehutanan yang dianggap sebagian besar dari kayu ilegal. Permendag (peraturan menteri perdagangan) ini membuat semua yang kita bangun ini sia-sia banget,” katanya. Pelemahan ini dikhawatirkan akan membuat di Indonesia kembali marak penebangan liar (illegal loging) yang kian menekan hutan alam Indonesia.
Saat ini sudah ada beberapa anggota dengan pasar di Uni Eropa yang mendapatkan keluhan dari importirnya. Mereka mempertanyakan ketidakwajiban penggunaan dokumen V-Legal pada produk kehutanan Indonesia.
Soewarni mengatakan, pada awal pekan pertama April 2020, pihaknya telah mengirim surat kepada Presiden yang ditembuskan kepada menteri terkait. ISWA meminta Presiden agar Permendag No 15/2020 tersebut ditinjau ulang.
Survei Sebijak
Ahmad Maryudi mengatakan, Pusat Kajian Sejarah dan Kebijakan Kehutanan (Sebijak Institute) Fakultas Kehutanan UGM juga sempat menyurvei tanggapan pelaku usaha industri kehutanan terkait Permendag No 15/2020. Survei cepat selama empat hari tersebut diikuti sekitar 150 responden. Hasilnya, 50 persen responden menyatakan bahwa kebijakan Permendag No 15/2020 berdampak negatif dan sangat negatif terhadap bisnis.
Temuan menarik lain, lanjut Maryudi, para responden tersebut menganggap SVLK berkontribusi positif bagi bisnis. Sebanyak 65-70 persen mengklaim ada dampak positif dan sangat positif penerapan SVLK terhadap bisnis mereka. Ada dampak positif terhadap kenaikan ekspor mereka.
Survei yang diedarkan pada sejumlah asosiasi industri kehutanan ini diikuti responden yang mengaku berasal dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia atau HIMKI (33 persen), Asosiasi Panel Kayu Indonesia atau Apkindo (16,2 persen), Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia atau Asmindo (14,7 persen), ISWA (10,3 persen), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia atau APKI (6,6 persen), lainnya (2,2 persen), dan tak bergabung dalam asosiasi (17 persen).
Temuan yang menarik, lanjut Maryudi, HIMKI yang sejak lama ”menolak” SVLK ternyata menjadi bagian dari hasil 65-70 persen responden yang mengklaim ada dampak positif dan sangat positif atas penerapan SVLK.
Maryudi menyatakan, survei yang disebutnya ”untuk mengetahui suasana hati pelaku usaha” ini memiliki kelemahan tidak bisa mengecek keaslian pengakuan responden akan status keanggotaan asosiasi dan level usahanya. ”Apa benar itu anggota HIMKI atau memang ada keragaman (pendapat) pada anggota HIMKI,” ujarnya.
Ia mengatakan dari survei ini tak berani merekomendasikan apa pun. Sebab, survei yang dilakukan kepada 150 responden tersebut kurang bisa menggambarkan pelaku usaha industri kehutanan yang berjumlah ratusan ribu pengusaha di Indonesia.
Meski demikian, berkaca dari sejumlah riset yang dilakukanya dan Sebijak, ia mengatakan, ”SVLK ini cukup bagus walaupun masih ada lubang-lubang yang perlu ditambal. Sayang kalau VPA dihentikan,” katanya.
Ia menambahkan, industri kecil menengah (IKM) menginginkan agar SVLK disederhanakan. Sebagai contoh, kayu yang berasal dari hutan rakyat atau Perhutani bisa langsung mendapatkan sertifikat legalitas kayu. Berbeda halnya dengan kayu-kayu dari hutan alam, seperti meranti dan merbau, yang terklasifikasi berisiko tinggi sehingga membutuhkan proses penilaian.