Kondisi ekosistem utama pesisir, yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang, di Indonesia masih terancam oleh aktivitas manusia. Keberlanjutan ekosistem tersebut hanya bisa terwujud dengan mengurangi tekanan di area itu.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi ekosistem utama pesisir, yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang, di Indonesia masih sangat tertekan oleh kegiatan manusia. Tekanan seperti aktivitas perikanan kecil agar mulai dikurangi dengan mentransformasi kapasitas mereka menjadi nelayan besar yang bisa berburu ikan di laut bebas dan atau zona ekonomi eksklusif.
Namun, dorongan ini belum tampak dalam pembahasan RUU Cipta Kerja atau omnibus law terkait Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No 31/2004 tentang Perikanan. Dalam diskusi secara virtual, di Jakarta, Senin (27/4/2020), terungkap revisi tersebut malah memiliki celah kian memberi tekanan pada ekosistem pesisir.
Direktur Program Yayasan Kehati Rony Megawanto yang mencermati RUU Cipta Kerja dari sisi UU Perikanan memaparkan kondisi ekosistem terumbu karang di Indonesia, menurut pemantauan rutin yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), menunjukkan masih terjadi kerusakan.
Data P2O LIPI pada tahun 2018 di sejumlah stasiun pengamatan menunjukkan 36,18 persen di antaranya memiliki tutupan jelek. Tutupan karang cukup 34,3 persen, baik 22,96 persen, dan sangat baik 6,56 persen.
Kondisi ekosistem lamun hasil penilaian P2O LIPI pada tahun 2017 menunjukkan 15 persen tidak sehat, 80 persen kurang sehat, dan hanya lima persen dalam kondisi sehat. Kondisi ekosistem mangrove juga memprihatinkan karena dari 3 juta hektar mangrove di Indonesia, sejumlah 52 persen di antaranya rusak dan 48 persen baik (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2017).
Dari sisi komposisi kapal perikanan di Indonesia, sejumlah 96,33 persen di antaranya merupakan kapal berskala subsisten dan kecil atau di bawah 10 gros ton. Itu berarti kapal-kapal ini hanya bisa menangkap di daerah pesisir. Kapal-kapal berukuran medium dan besar atau di atas 10 gros ton hanya sebagian kecil atau 3,67 persen.
”Hal ini bisa membawa tekanan terhadap ekosistem pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Hanya sedikit kapal perikanan (yang bisa beroperasi) di ZEE dan laut lepas,” kata Rony Megawanto.
Keterkaitan hal ini dengan RUU Cipta Kerja pada Omnibus Law yakni tidak lagi membedakan definisi nelayan kecil (ukuran kapal di bawah 5 gros ton) dalam UU Perikanan. Menurut UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, definisi nelayan kecil yakni tidak menggunakan kapal alat tangkap ataupun menggunakan kapal alat tangkap di bawah 10 gros ton.
Indikator pembeda bisa memberi ”penanda” bagi keistimewaan yang diberikan kepada nelayan kecil yang tidak memerlukan perizinan berusaha, bisa menangkap ikan hampir di mana saja (kecuali area konservasi), dan mendapat subsidi. Ketiadaan penanda atau indikator itu menyebabkan nelayan besar juga memiliki keistimewaaan tersebut dan bermain di wilayah pesisir. Kondisi ini akan kian menambah tekanan bagi ekosistem pesisir.
Hal ini bisa membawa tekanan terhadap ekosistem pesisir yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Hanya sedikit kapal perikanan (yang bisa beroperasi) di ZEE dan laut lepas.
Rony juga mengatakan, UU sapu jagat cenderung memiliki cara pandang perizinan sebagai sumber pendapatan negara. Padahal, tujuan utama perizinan adalah pengendalian perikanan. Bila perizinan dipandang sebagai pendapatan negara, kegiatan penangkapan berlebih bisa kian parah. Hal itu akan merugikan pelaku usaha karena sumber daya ikan cepat terkuras.
Dalam forum terpisah, Susan Herawati, Sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyatakan, RUU Cipta Kerja bisa membawa kehancuran ekosistem Indonesia. Kekhawatiran ini disebabkan cara pandang yang menempatkan laut sebagai target investasi atau obyek eksploitasi atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja menempatkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil menjadi sangat terancam. Sebagai contoh, dalam UU sapu jagat yang merevisi Pasal 26 Huruf a UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, disebutkan ”Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Susan berpandangan, pasal itu menghilangkan syarat-syarat penting, terutama pertimbangan sosial, ekologis, dan juga budaya. ”Eksploitasi ekosistem pesisir laut, dan pulau-pulau kecil, akan semakin masif dengan disahkannya RUU ini,” ujarnya.
Meski di dalam RUU Cipta Kerja menyebutkan pasal mengenai konservasi laut, hal itu menunjukkan kebingungan pemerintah. Selain karena konsepnya top-down dan berbasis utang luar negeri, konservasi laut adalah proyek ditujukan untuk melayani kepentingan korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya genetik, salah satunya untuk kepentingan industri farmasi.
Tak hanya itu, kawasan-kawasan konservasi laut yang telah ditetapkan justru pada praktiknya dijadikan kawasan pariwisata skala besar dengan nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). ”Bagaimana mungkin konservasi laut akan disandingkan dengan eksploitasi laut? Pasal-pasal yang mengatur eksploitasi pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil jauh lebih banyak dari pasal konservasi laut,” kata Susan.
Dengan demikian, RUU Cipta Kerja hanya akan memperparah kehancuran ekosistem lautan Indonesia di masa depan yang merupakan bagian penting dari planet bumi. ”Atas dasar itu kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak RUU ini,” ujarnya.