Ancaman kriminalisasi, penganiayaan, hingga pembunuhan menjadi catatan peristiwa terhadap para pembela HAM atas lingkungan. Ancaman itu diperkirakan terus berlanjut seiring penerapan kebijakan pro pemodal.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau Elsam menunjukkan tahun 2019 merupakan tahun pesimisme bagi penegakan hak asasi manusia, terutama terkait penyelesaian kasus agraria dan lingkungan. Ancaman kriminalisasi, penganiayaan, hingga pembunuhan menjadi catatan perisiwa terhadap para pembela hak asasi manusia atas lingkungan.
Tahun 2020 hingga tahun mendatang pun diprediksi tak akan berubah. Bahkan, pasca pandemi Covid-19 yang menurunkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa menjadi ”stimulus” lebih tingginya ancaman terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan. Hal itu disebabkan keinginan mengejar ketertinggalan secara cepat dalam kondisi politik ekonomi tidak berubah dan industri ekstraktif dan rakus lahan masih menjadi sandaran.
Ini mengemuka dalam diskusi dan peluncuran laporan Elsam Menatap Tahun-tahun Penuh Marabahaya secara virtual, Kamis (23/4/2020), yang merupakan lanjutan laporan Elsam tentang Pembela HAM di tahun 2018. Diskusi menghadirkan Poengky Indarti (anggota Komisi Kepolisian Nasional) dan R Herlambang Perdana Wiratraman (dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga) serta Muhammad Azka Fahriza (Elsam).
Azka Fahriza mengungkapkan sepanjang 2019 terdapat 27 kasus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan di 27 kabupaten/kota dan 14 provinsi. Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi tertinggi, yaitu 7 kasus.
Kasus tersebut tertinggi pada sektor agraria (17 kasus) disusul pertambangan (6), infrastruktur (3), dan pariwisata (1). Jenis kekerasan tersebut meliputi penangkapan, serangan fisik, penahanan, intimidasi hingga pembunuhan.
Di sisi lain, profil korban kebanyakan petani disusul masyarakat adat, aktivis, mahasiswa, akademisi, hingga anak-anak. Dari profil pelaku, aktor negara terbanyak, yaitu polisi, TNI, satpol PP, dan pejabat negara serta aktor nonnegara, yaitu perusahaan, sekuriti perusahaan, dan orang tidak dikenal.
Azka mengatakan kejadian 27 kasus di tahun 2019 ini menurun dibandingkan dengan tahun 2018 sebanyak 49 kasus. Namun, hal ini tak berarti apa-apa karena kekerasan tahun ini dinilai lebih brutal berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Sebagai contoh, tewasnya aktivis Sumatera Utara Goldfried Siregar.
Ia mengatakan saat ini penggunaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pun kian masif untuk membungkam upaya pembelaan HAM.
Kebijakan pro pemodal
Catatan lain tahun 2019 juga muncul aktor nonnegara yang memiliki kaitan langsung dengan perusahaan. Sebagai contoh, Onrizal, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, dipolisikan atas perbuatan tak menyenangkan oleh seseorang yang tak memiliki kaitan langsung.
Hal itu terjadi karena kebijakan pro pemodal serta pendekatan keamanan-militeralistik. Kebijakan pro pemodal dan investasi besar ini berelasi dengan politisi yang juga pengusaha. “Sepertinya memisahkan tanggung jawab negara dan perusahaan tidak tepat karena ada mutual atau kesamaan kepentingan antara negara dan perusahaan,” ujarnya.
Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan mengatakan, peningkatan pelanggaran HAM baru beberapa pekan lalu terjadi di Lahat. Dua petani setempat dikeroyok hingga tewas oleh sekuriti perusahaan.
Ia berharap pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan perlindungan bagi pembela lingkungan diimplementasikan. Sebagai catatan, sejak dua tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupaya menerjemahkannya dalam Peraturan Menteri agar implementatif tapi belum terwujud.
Poengky Indarti, anggota Kompolnas yang pernah menjadi aktivis HAM di Imparsial, meminta Elsam memberikan data detail terkait kasus yang melibatkan aktor pelaku dari polisi. ”Itu bisa kami cocokkan dengan laporan-laporan yang masuk ke Kompolnas,” ungkapnya.
Sementara itu Herlambang Wiratraman mengatakan masih terdapat perbedaan definisi penjelasan Pasal 66. Dalam penjelasan, perlindungan diberikan kepada pelapor atau korban yang menempuh cara hukum.
”Cara hukum itu tidak boleh diterjemahkan penegak hukum sebagai (hanya) melalui peradilan,” ujarnya. Disebutnya, pelaporan masyarakat pada anggota DPR/DPRD pun sudah bisa dikategorikan sebagai ”cara hukum”.