Hujan meteor Lyrid bakal berlangsung 16-30 April 2020, puncaknya 21-22 April mendatang. Dengan mata telanjang, masyarakat hanya perlu pergi ke luar rumah, pandang langit di arah timur laut, tunggu meteor muncul.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Paruh kedua bulan April telah tiba. Kini, saatnya warga dunia bisa menyaksikan kembali hujan meteor Lyrid. Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah dan negara akibat pandemi Covid-19 dan datangnya fase Bulan mati membuat peluang bisa menyaksikan hujan meteor ini cukup besar.
Hujan meteor Lyrid berlangsung 16-30 April 2020. Namun, ”Puncaknya akan berlangsung pada 21-22 April,” kata ahli meteor Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Bill Cooke, seperti dikutip Space, Rabu (15/4/2020).
Meski demikian, pengamatan bisa dilakukan sejak Minggu (19/4/2020) dini hari hingga Kamis (23/4/2020) dini hari. Pada rentang ini, jumlah meteor yang bisa diamati diyakini paling optimal.
Waktu terbaik untuk mengamati hujan meteor itu adalah selepas tengah malam hingga terbitnya fajar. Saat ini, hujan meteor Lyrid berlangsung bersamaan dengan fase Bulan mati sehingga cahaya Bulan tidak akan mengganggu pengamatan meteor.
Disebut hujan meteor Lyrid karena meteor-meteor yang terlihat kali ini seolah-olah muncul dari rasi Lyra, konstelasi bintang berbentuk alat musik lira. Meski kecil, rasi Lyra mudah diamati karena memiliki satu bintang terang yang mudah diamati, yaitu bintang Vega atau Alfa Lyra.
Bersama bintang Altair (Alfa Aquilae) dan Deneb (Alfa Cygni), Vega membentuk segitiga bintang terang. Kemunculan segitiga bintang terang ini menjadi pertanda datangnya musim panas di belahan Bumi utara.
Dari sejumlah lokasi di Indonesia, rasi Lyra bisa disaksikan di arah timur laut. Selama akhir April, rasi ini akan terbit sekitar pukul 23.00 di wilayah Indonesia barat, sedangkan di Indonesia timur dia sudah mulai terlihat pukul 21.00.
Dari pengalaman tahun sebelumnya, jumlah meteor yang bisa disaksikan selama hujan meteor Lyrid berkisar 15-20 meteor per jam. Bahkan, pada beberapa tahun sebelumnya, jumlah meteor yang bisa dilihat bisa mencapai 100 meteor per jam saat terjadi lonjakan jumlah meteor atau outburst. Namun, lonjakan jumlah meteor itu sulit diprediksi.
Dikutip dari earthsky.org, sejumlah lonjakan jumlah meteor dalam hujan meteor Lyrid pernah disaksikan pengamat Yunani pada 1922, pengamat Jepang pada 1945, dan pengamat Amerika Serikat pada 1982. Pada 2020 ini diprediksi tidak akan terjadi outburst meski kemungkinan untuk terjadinya tetap ada.
Tahun ini, astronom memperkirakan jumlah meteor Lyrid yang terlihat mencapai 10-15 meteor per jam. Jumlah meteor yang bisa dilihat itu bergantung dari lokasi pengamatan, kecerahan langit malam, hingga besarnya polusi cahaya.
”Sejumlah ahli menyebut, ada periodisitas 30 tahunan untuk terjadi lonjakan meteor, tetapi itu hanya rata-rata. Jumlah aktual meteor setiap tahun bervariasi,” tambah Cooke.
Bahan baku meteor dalam hujan meteor Lyrid berasal dari serpihan komet Thatcher atau C/1861 G1. Komet ini mengelilingi Matahari setiap 415 tahun sekali. Terakhir kali komet mendekati Bumi pada 1861, dengan jarak terdekat dengan Bumi dicapai pada 5 Mei 1861 pada jarak 50,1 juta kilometer atau 0,335 unit astronomi (jarak rata-rata Bumi-Matahari).
Komet ini ditemukan oleh AE Thatcher pada 5 April 1861. Komet mencapai perihelion atau titik terdekat ke Matahari terakhir kali pada 3 Juni 1861. Dari perhitungan, komet akan kembali mendekati Matahari dan Bumi pada tahun 2276.
Saat mendekati Matahari itu, komet menguap hingga serpihan dan pecahan materinya tertinggal di sekitar lintasan orbitnya. Setiap akhir April, dalam perjalanan Bumi mengitari Matahari, Bumi akan melewati bekas lintasan komet tersebut.
Selanjutnya, serpihan materi komet itu akan masuk ke atmosfer Bumi hingga menjadi meteor. Saat serpihan komet itu bergesekan dengan atmosfer Bumi, akan menimbulkan panas hingga terbakar dan menjadi meteor. Di atmosfer Bumi, meteor itu akan bergerak dengan kecepatan hingga 177.000 kilometer per jam.
Hujan meteor Lyrid termasuk hujan meteor tertua yang dilaporkan manusia. Catatan China kuno menyebut terjadinya hujan meteor pada 687 Sebelum Masehi (SM). Dalam periodisasi China Kuno, tahun itu termasuk dalam periode musim semi dan gugur atau antara tahun 771 SM dan 476 SM. Di masa itulah hidup filsuf China, Konfusius, hingga sebagian orang menduga Konfusius turut menyaksikan hujan meteor itu.
Untuk bisa menyaksikan hujan meteor Lyrid, tidak diperlukan peralatan apapun, cukup gunakan mata telanjang. Masyarakat hanya perlu pergi ke luar rumah, pandang langit di arah timur laut, dan tunggu meteor muncul. Karena harus menunggu di dinihari, gunakan baju hangat, dan jika perlu berbekal makanan dan minuman hangat.
Selama masa pembatasan sosial dan bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19 berlangsung, kesempatan untuk melihat hujan meteor ini menjadi lebih besar karena besok paginya tidak perlu buru-buru berangkat sekolah atau bekerja. Namun, karena banyak yang di rumah, polusi cahaya menjadi tidak berkurang meski langit menjadi lebih bersih karena berkurangnya polusi udara dan aktivitas manusia.
Meski demikian, saat ini mendung dan hujan masih berlangsung di sejumlah wilayah, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Kondisi cuaca itu bisa mengganggu pengamatan. Karena itu, semoga cuaca dini hari hingga akhir April nanti mendukung untuk menyaksikan hujan meteor Lyrid.