Sertifikasi Kebun Sawit, Harapan untuk Perlindungan Hutan dan Gambut
Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia diarahkan untuk menjamin legalitas dan kelestarian perkebunan sawit beserta produknya. Kebijakan ini diharapkan dapat melindungi hutan dan gambut.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·6 menit baca
Di tengah-tengah penanganan pandemi Covid-19, 13 Maret 2020, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Sertifikasi tersebut diharapkan bisa menjadi jaminan legalitas dan kelestarian perkebunan kelapa sawit beserta produk minyak sawit yang berasal dari Indonesia.
Sudah menjadi pengalaman bertahun-tahun, sawit asal Indonesia diasosiasikan dengan kerusakan hutan dan gambut, kebakaran hutan, kehilangan biodiversitas, hingga penggusuran kepada masyarakat adat/masyarakat tradisional. Respons pasar yang menyoroti hal itu selama ini selalu dianggap sebagai ”kampanye hitam” ataupun ”persaingan dagang” untuk menjatuhkan pasar sawit, khususnya Uni Eropa yang ingin melindungi produk minyak nabatinya dari gempuran sawit.
Tudingan tersebut, terlepas benar atau salah, masing-masing memiliki bukti dan data beserta argumennya. Namun, fakta yang terjadi, berbagai permasalahan kerusakan hutan dan gambut hingga penggusuran kepada masyarakat adat yang berasosiasi langsung dengan pembukaan dan operasional perkebunan tersebut telah memiliki segudang catatan. Saat bersamaan, perlu diingat pula, tak semua perkebunan sawit di Indonesia yang memiliki luas total 16,3 juta hektar (data Kementerian Pertanian, 2019) ”sejahat” itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Peningkatan luas sawit tersebut sangat cepat. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyatakan, luas lahan sawit 7,4 juta hektar (tahun 2008) bertambah menjadi hampir dua kali lipatnya atau 14,3 juta hektar pada tahun 2018. Dalam waktu 10 tahun, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 19,2 juta ton (2008) menjadi 47,4 juta ton (2018) dengan segala konsekuensi ekonomi maupun sumbangsih signifikan pada devisa negara.
Meski demikian, dari sisi kerusakan hutan ataupun ancamannya, data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK pada tahun 2019 menyebutkan, sebanyak 3.177.014 hektar kawasan hutan digunakan sebagai perkebunan sawit tanpa izin alias ilegal. Disebut ilegal karena perusahaan tak dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan (IPKH).
Pembukaan hutan atau lahan untuk kebun sawit ini pun disebut memiliki andil terhadap kerusakan ekosistem gambut. Data KLHK dari interpretasi citra satelit Lapan menunjukkan, pada kebakaran tahun 2015 yang melalap total 2,6 juta hektar hutan dan lahan, seluas 555.659,23 hektar di antaranya merupakan perkebunan di atas lahan/hutan gambut.
Dari sisi konflik, Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria 2018 menunjukkan, dari total 410 konflik agraria, sebanyak 140 konflik di antaranya berada di perkebunan. Adapun 83 dari 140 konflik tersebut terkait perkebunan kelapa sawit.
Di Papua, yang disebut sebagai benteng terakhir hutan tropis Indonesia, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mendapati sebanyak 1.161.446 juta hektar kawasa hutan di kawasan itu telah dilepaskan dan mendapatkan izin, tetapi belum diusahakan oleh perusahaan menjadi perkebunan. Bila lahan-lahan ini nanti dibuka, konflik agraria antara masyarakat yang masih sangat bergantung pada belas kasihan alam bisa bertambah sengit, seperti telah terjadi saat ini di ”Bumi Cenderawasih”.
Manfaat dan masalah sawit ini membuat perhatian Presiden Joko Widodo cukup tercurah. Setidaknya sejumlah aturan telah dibuat Presiden terkait langsung maupun tidak langsung akan sawit. Pertama, moratorium sawit (Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit), moratorium permanen kehutanan (Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Gambut), lalu Inpres Nomor 6 Tahun 2019 terkait dengan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Ketiganya bermuara pada Perpres Nomor 44 Tahun 2020.
Perpres ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), demikian Perpres 44 ini disebut-sebut karena menggantikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 yang menjadi aturan main sertifikasi ISPO sebelumnya. Dari sisi regulasi yang naik kelas atau diatur lebih tinggi ini, terbuka harapan baru akan terselesaikannya berbagai permasalahan mendasar kebun-kebun sawit yang melibatkan lintas kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah.
Satu di antaranya yang pasti adalah persoalan kebun sawit di kawasan hutan. Apalagi, Perpres Nomor 44 tahun 2020 memandatkan sertifikasi ISPO ini berlaku wajib bagi seluruh pelaku usah perkebunan, kecuali pekebun swadaya masyarakat yang diberi waktu hingga tahun 2025. Dalam Permentan Nomor 19 Tahun 2011 dan Permentan Nomor 11 Tahun 2015, sertifikasi ISPO bersifat sukarela bagi industri pengolah sawit bagi energi terbarukan, petani plasma, dan petani swadaya.
Berbicara tentang petani swadaya atau kebun rakyat yang luasannya diperkirakan mencapai 6 juta hektar, sebagian di antaranya berada dalam kawasan hutan. Padahal, persyaratan pertama untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, yaitu legalitas lahan, adalah lahan tersebut harus tidak di dalam kawasan hutan. Akibatnya, sampai saat ini legalitas kebun sawit rakyat (SK Kawasan, Sertifikat, STDB) belum terselesaikan. Ini pula yang membuat program peremajaan sawit rakyat terhambat, petani sawit banyak terintimidasi karena dinilai ilegal, penjualan TBS dipersoalkan pabrik, dan mereka tidak bisa akses perbankan.
Selama bertahun-tahun, permasalahan ini tak bisa diatasi pemerintah. Meski problem kronis ini sebenarnya bisa diatasi dalam Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan, toh kebun sawit dikecualikan sehingga harus dicari formula baru untuk penyelesaiannya.
Karena itu, waktu lima tahun bisa berlalu begitu saja, bila kementerian terkait maupun pemerintah daerah tidak aktif mencarikan jalan keluar. Sanksi administratif dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020 bagi pelaku usaha sawit yang tak mengikuti sertifikasi ini bisa disalahgunakan oknum untuk ”memeras” petani swadaya. Perusahaan kelapa sawit pun rentan ”menekan” harga.
Harapan perbaikan tata kelola sawit kian membaik melalui Perpres juga muncul saat dicantumkan prinsip baru sertifikasi ISPO, yaitu transparansi. Prinsip yang telah diadopsi sebelumnya oleh sertifikasi sukarela Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Meski baru sebatas prinsip yang masih ditunggu penerjemahannya, setidaknya transparansi sertifikasi ini tampak dengan pelibatan secara resmi pemantau independen sebagai bagian dari Komite ISPO serta penerbitan sertifikasi kini dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi, bukan lagi Komite ISPO. Harapannya, sistem ini membuat penilaian sertifikasi lebih independen.
Kabar baik lagi, sertifikasi yang sebagian mekanismenya mengadopsi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)—meski kini legitimasinya sedang dilemahkan oleh Permendag Nomor 15 tahun 2020—mencantumkan partisipasi publik. Masyarakat, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan dapat berpartisipasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan Sertifikasi ISPO dengan mengusulkan dan memberikan masukan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan Sertifikasi ISPO, meminta informasi mengenai Sertifikasi ISPO, melaporkan pelanggaran terkait pengelolaan dan pelaksanaan Sertifikasi ISPO kepada pemerintah, Komite ISPO, KAN, dan/atau Lembaga Sertifikasi ISPO, dan meningkatkan keberterimaandan daya saing ISPO dan hasil perkebunan kelapa sawit dan turunannya di tingkat nasional dan internasional.
Kabar baik lagi, dalam pasal peralihan, Perpres Nomor 44 Tahun 2020 ini membuka ”evaluasi” pada pemegang sertifikat ISPO sebelumnya agar memenuhi prinsip dan kriteria tersebut. Ini disambut baik karena terdapat temuan sejumlah pemegang sertifikat ISPO yang melanggar prinsip-prinsip ISPO.
Beberapa kasus seperti pembukaan hutan alam dan sempadan sungai pada perkebunan sawit di Buol, Sulawesi Tengah, hingga penganiayaan yang membawa korban jiwa warga di Lahat oleh keamanan perusahaan. Belum lagi kasus-kasus kebakaran hutan atau lahan dan pembukaan rawa gambut.
Sertifikasi ISPO sebagai bukti—dan bisa dibuktikan—berasal dari perkebunan yang lestari dan berkelanjutan menjadi harapan. Bukan hanya dari sisi penerimaan pasar luar negeri, yang sebagian besar hasil minyak sawit (CPO) Indonesia disalurkan, tetapi juga masa depan lingkungan dan bumi. Ini mengingat Perpres No 44 Tahun 2020 tersebut menyebutkan Sistem Sertifikasi ISPO yang baru ini juga dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga menjadikan langkah ini sebagai bagian dari kebijakan iklim Indonesia.
Bila berjalan dengan baik, tumbuh harapan pada perlindungan hutan, gambut, beserta biodiversitas dan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang hidup di dalamnya.