Konflik Agraria Masih Terjadi di Tengah Pandemi Covid-19
Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Namun, di sejumlah daerah berlangsung konflik agraria yang melibatkan warga, perusahaan, dan aparat keamanan. Pemerintah pusat dan daerah diminta melindungi rakyat.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Kompas
Mahasiswa dan petani yang tergabung bersama Aliansi Tani Jawa Timur berunjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional di depan gedung DPRD Jawa Timur, Surabaya, Selasa (24/9/2019). Beberapa tuntutan mereka kepada pemerintah adalah agar menyelesaikan konflik agraria di Jawa Timur, menghentikan segala upaya dan proses kriminalisasi petani, tunda pembahasan dan pengesahan RUU Pertanahan.
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah upaya Indonesia mengatasi wabah Covid-19, konflik agraria masih saja terus terjadi antara masyarakat, perusahaan, dan aparat keamanan. Di sejumlah lokasi bahkan konflik memakan korban nyawa, perusakan lumbung padi, serta dugaan kriminalisasi warga. Aparat keamanan diimbau untuk menahan diri dan tidak mengambil tindakan yang akan terkesan memanfaatkan ”ketakutan” masyarakat yang sedang mengarantina diri dalam pencegahan penularan Covid-19.
Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk turun tangan mencegah konflik terjadi karena akan kontraproduktif dengan upaya menurunkan pandemi. “Dalam kondisi saat ini (pandemi Covid-19), wilayah-wilayah yang masih ada konflik tidak boleh ada tindakan apapun, harus status quo,” kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Jumat (3/4/2020) di Jakarta.
Ia menyikapi sejumlah kasus konflik yang menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) masih terus terjadi, meski negara dalam kondisi darurat pandemi Covid-19. Sandrayati meminta pemerintah dan kepolisian untuk sama-sama memberikan rasa aman yang sama bagi warga maupun pekerja perusahaan di area konflik.
Sandrayati mengingatkan Kepala Polri telah mengeluarkan Maklumat yang intinya agar setiap orang–tanpa terkecuali termasuk anggota kepolisian– menjalankan jarak fisik dan menghindari kerumunan. Ia meminta agar polisi memproses internal anggotanya yang diduga tidak taat pada Maklumat tersebut. “Kalau ada pihak yang menggunakan kesempatan ini untuk gunakan secara sepihak itu tindakan tidak benar. Harus ada sanksi bagi anggota polisi dan teguran keras bagi perusahaan,” kata dia.
Dalam kondisi pandemi yang mengharuskan semua pihak menjaga jarak dan menghindari kerumunan untuk memutus rantai penularan Covid-19, Komnas HAM menjadi kesulitan untuk memediasi kasus-kasus konflik. Mediasi dengan mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik tak mungkin dilakukan saat ini. “Bertemu langsung saja sangat sulit untuk mediasi, apalagi kalau menggunakan virtual online. Sulit, terutama aksesnya bagi warga yang tinggal di kampung/desa,” kata Sandrayati Moniaga.
Dalam konferensi pers virtual oleh Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama empat Walhi daerah, menunjukkan, sepanjang masa darurat nasional pandemi Covid-19, yaitu Maret sampai April 2020, terjadi terjadi penangkapan, pembunuhan, penggusuran, dan kekerasan terhadap warga yang memperjuangkan tanah dan kehidupannya.
Di Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan terjadi kriminalisasi masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih, Kalimantan Tengah. Pada 7 Maret 2020 sekitar pukul 02.30, aparat kepolisian memasuki Mess Walhi di Jakarta untuk menangkap James Watt dan Dedi Susanto. Ini buntut penangkapan belasan warga setempat pada 3 Maret 2020 di Kalteng.
Tidak lama berselang keduanya diterbangkan ke Kalimantan Tengah dan ditetapkan sebagai tersangka pencurian buah sawit. Mereka diduga dikriminalisasikan terkait konflik antara warga dan perusahaan perkebunan sawit setempat yang berlangsung sejak 2006. Dimas mengatakan, tanah warga seluas 117 hektar dirampas perusahaan. Padahal, panitia khusus DPRD Kotawaringin Timur dan Kantor Pertanahan setempat telah menyatakan tanah tersebut berada di luar hak guna usaha dan izin usaha perkebunan perusahaan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hairul Sobri menceritakan kasus lain di daerahnya. Ia menyebutkan, aparat polisi mengawal korporasi dalam merobohkan tiga pondok penyimpanan padi milik Kelompok Tani Mafan di Desa Sedang, Suak Tapeh, Banyuasin, 2 April 2020. Penggusuran ini diduga untuk menjadikan areal setempat sebagai kebun sawit.
Kasus lain, masih di Sumsel, terjadi pembunuhan dua petani di Lahat, Sumatera Selatan, 21 Maret 2020, oleh oknum sekuriti perusahaan perkebunan. Hairul Sobri menduga, kasus ini terkait konflik agraria warga setempat yang berupa merebut tanahnya kembali.
Konflik agraria sepanjang 2018Di Jawa Timur, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim Rere Christanto menyebutkan, pada 26 Maret 2020, aparat menghentikan aksi tenda perjuangan Tumpang Pitu di Banyuwangi yang didirikan sejak 5 Maret 2020. Warga berjuang menolak perluasan tambang emas setempat. Alasan aparat saat itu adalah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Warga enggan mengikuti permintaan tersebut dengan alasan aktivitas karyawan dan tambang masih terus beroperasi yang juga berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19. Ini menimbulkan bentrokan karena aparat membubarkan paksa aksi warga pada Jumat sore, 27 Maret 2020.
Di Sumatera Utara, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan mengatakan bibit mangrove yang ditanam warga penerima izin perhutanan sosial (Kelompok Tani Nipah) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, dibakar oknum pekerja perusahaan sawit sekitar. “Legalitas perizinan tidak membuat mereka mendapat perlindungan, bahkan dari aktivitas perkebunan illegal itu,” katanya.
Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi mendesak Presiden agar memerintahkan kepolisian menghentikan penyalahgunaan wewenang dalam situasi krisis pandemi saat ini. Kepolisian pun diminta melindungi warga dan bukan malah berpihak kepada perusahaan.
“Kami menuntut agar Presiden memberikan hukuman bagi oknum aparat negara yang terlibat dalam upaya kriminalisasi dan represi pejuangan lingkungan hidup dan agrarian,” katanya.
Di sisi lain, Walhi juga meminta kementerian terkait dan kepala daerah untuk memberikan jaminan keselamatan warga yang mengalami konflik agraria dan sumber daya alam. Walhi juga mendesak agar negara memberikan hukuman kepada korporasi-korporasi yang menyalahgunakan situasi krisis untuk melakukan kriminalisasi, kekerasan, perusakan, dan perampasan lahan warga.