Indonesia menempati ranking kedua kasus tuberkulosis terbanyak di dunia setelah India. Komitmen dan kedisiplinan masyarakat menjadi kunci agar tugas berat ini bisa berakhir.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Sekitar 500 dokter dari Koalisi Organisasi Profesi Penanggulangan TBC bersama organisasi profesi lain menggelar Peringatan Hari TBC Sedunia dalam acara hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Chatib Sulaiman, Padang, Sumatera Barat, Minggu (24/3/2019). Dalam kegiatan tersebut, mereka mengadakan aksi jalan kaki untuk menyosialisasikan TBC.
Indonesia kini dihadapkan dengan pandemi ganda. Di tengah merebaknya penularan Covid-19 atau penyakit infeksi virus korona baru, beban tuberkulosis belum teratasi hingga tuntas. Bahkan, kasus tuberkulosis yang kebal dengan obat kian bertambah. Komitmen dan kedisiplinan masyarakat menjadi kunci agar tugas berat ini bisa berakhir.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 mencatat ada 10 juta kasus tuberkulosis baru terjadi selama setahun. Indonesia menempati posisi kedua kasus tuberkulosis terbanyak di dunia setelah India.
Kementerian Kesehatan mencatat, kasus ini terus meningkat empat tahun terakhir. Secara berturut-turut dari 2015 sampai 2018, jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan adalah 330.729 kasus, 360.565 kasus, 446.732 kasus, dan 570.289 kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, Jumat (21/3/2020), di Jakarta, dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, mengatakan, angka kasus tuberkulosis terus meningkat seiring upaya penemuan kian aktif dan intensif dilakukan. Upaya penemuan itu penting agar pasien bisa segera diobati untuk mencegah penularan dan mencapai target eliminasi tuberkulosis.
Menurut dia, jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia diperkirakan mencapai 842.000 orang. Artinya, masih ada sekitar 39 persen yang belum terdeteksi dan belum mendapatkan pengobatan. ”Secara nasional, capaian notifikasi (temuan) kasus baru pada 2019 sekitar 65 persen. Sementara targetnya 70 persen. Sebagian besar kasus berisiko tinggi belum mencapai target,” katanya.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularannya bisa melalui udara ataupun percikan dahak yang keluar ketika penderita batuk atau bersin. Satu pasien tuberkulosis bisa menginfeksi 10-15 orang dalam satu tahun.
Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan, menyampaikan, tingginya jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia dipicu antara lain gaya hidup yang tidak sehat seperti etika batuk yang tidak baik, kebiasaan merokok, serta tidak menjaga kebersihan diri. Selain itu, lingkungan yang padat meningkatkan risiko penularan.
Penyakit tuberkulosis akan sulit menjangkit orang dengan daya tahan yang baik.
Perbaikan pola perilaku ini juga menjadi cara paling efektif untuk mencegah berbagai penularan penyakit lain, termasuk Covid-19 yang saat ini terus meluas. Selain pola perilaku, penguatan daya tahan tubuh sangat berpengaruh mencegah penularan penyakit ini.
”Penyakit tuberkulosis akan sulit menjangkit orang dengan daya tahan yang baik. Jaga kesehatan tubuh dengan gizi yang baik, olahraga teratur, dan istirahat cukup. Jika ada orang di sekitar menderita tuberkulosis, sarankan untuk segera berobat dan upayakan pasien selalu mengenakan masker dengan benar,” tutur Erlina.
TB resistan obat
Erlina menambahkan, penemuan kasus tuberkulosis penting dilakukan agar pasien bisa segera diobati. Pasien bisa sembuh jika mendapatkan pengobatan teratur selama enam bulan. Obat tersebut bisa diperoleh di puskesmas secara gratis.
Namun, apabila tidak mengonsumsi obat secara teratur dan tidak tuntas atau putus di tengah masa pengobatan, pasien justru berisiko mengalami penyakit tuberkulosis yang kebal terhadap obat sehingga terapi menjadi makin lama dan sulit. ”Seseorang juga bisa tertular tuberkulosis resistan ini kepada orang lain secara langsung,” katanya.
Menurut dia, kepatuhan minum obat yang rendah inilah yang juga menyebabkan kasus tuberkulosis di Indonesia tetap tinggi. Selain itu, stigma yang buruk dari masyarakat kepada pasien membuat orang tersebut enggan mengonsumsi obat.
Pada 2019, WHO melaporkan, Indonesia merupakan negara ketujuh dari 30 negara dengan beban tuberkulosis resistan obat (TBC RO) tertinggi di dunia. Diperkirakan jumlah total kasus di Indonesia sebanyak 24.000 kasus.
Wiendra menuturkan, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional 2014–2019 yang berkomitmen menemukan 80 persen kasus dari estimasi kasus TBC RO dan mengobati 70 persen pasien TBC RO yang terdiagnosis pada 2019. Diharapkan angka keberhasilan pengobatan yang diperoleh mencapai 75 persen.
Sejak 2018, cakupan pengobatan TBC RO baru sekitar 18,6 persen (4.476 kasus) dari 24.000 estimasi kasus TB RO. Sementara itu, jumlah kasus TB RO yang dilaporkan pada tahun 2018 sebanyak 9.180 kasus (38,3 persen). Dengan begitu, masih ada 61,7 persen atau 14.820 kasus yang belum ditemukan.
”Pengobatan TBC resistan obat membutuhkan waktu lama, 9-11 bulan, untuk pengobatan jangka pendek dan 22-24 bulan untuk pengobatan individual. Waktu yang cukup panjang ini menimbulkan beberapa kendala dalam pelaksanaannya,” ujar Wiendra.
Menurut dia, kendala yang dihadapi antara lain pelayanan yang belum merata untuk pasien TBC RO di setiap kabupaten ataupun kota, efek samping obat yang tinggi, serta edukasi dan pengetahuan yang rendah pada pasien.
Meski demikian, lanjut Wiendra, pemerintah terus berinovasi agar kasus TBC bisa ditemukan secara masif melalui gerakan TOSS atau Temukan Obati Sampai Sembuh. Ada tiga hal yang menjadi fokus pelaksanaan gerakan tersebut. Pertama, menemukan semua pasien TBC melalui kegiatan penemuan aktif dan pasif, baik pasien dengan gejala maupun tidak bergejala.
Kedua, mengobati pasien dengan memastikan semua pasien TBC tercatat dalam registrasi pengobatan. Dengan begitu, pasien bisa mendapatkan obat secara gratis dan dapat dipantau. Ketiga, mengobati pasien sampai sembuh dengan dilakukan pemantauan secara intensif dari para pengawas minum obat dan tenaga kesehatan yang disiagakan di setiap daerah.
”Tiga hal itu akan dipenuhi dengan penempatan sekitar 900 alat diagnostik canggih atau tes cepat molekular di hampir 10.000 puskesmas dan 360 rumah sakit yang bisa melayani TBC RO,” ucap Wiendra.