Legalitas Kayu Diperlemah, Langkah Mundur Indonesia
Ekspor produk hutan tak lagi mewajibkan syarat dokumen V-Legal. Ini melemahkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang telah dibangun Indonesia sejak 2003 untuk mencuci stigma negatif pembalakan liar.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan yang memperlemah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Ekpor produk kehutanan, terutama kayu, tak lagi wajib menyertakan dokumen V-legal. Kebijakan ini menurunkan kredibilitas Indonesia dan langkah mundur karena mengurangi sistem legalitas dan keterlacakan produk kayu.
Sejumlah pihak mendesak agar penerbitan peraturan ini segera ditinjau ulang sebelum ketentuan dalam perundangan itu efektif diberlakukan tanggal 27 Mei 2020 atau tiga bulan setelah diundangkan. Jika hal itu diabaikan, keunggulan Indonesia dalam hal legalitas yang menjadi cerminan banyak negara akan hilang. Padahal, sejak dirintis pada 2003, pemberlakuan sistem itu telah diakui Uni Eropa dan Australia serta membawa peningkatan nilai perdagangan produk kayu Indonesia.
”Kemungkinan besar akan terjadi pengulangan sejarah, dulu kita dicap negara yang memperjualbelikan kayu ilegal. Negara yang tidak mampu bersaing karena produk kayunya berasal dari kayu ilegal,” kata Muhamad Kosar, Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Kamis (19/3), di Bogor, Jawa Barat, saat menanggapi dampak penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Pada bagian pertimbangan itu disebutkan, aturan itu untuk memberi kepastian berusaha. Selain itu, permendag diterbitkan untuk menjalankan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian, yaitu menyederhanakan perizinan ekspor produk industri kehutanan.
Kemungkinan besar akan terjadi pengulangan sejarah, dulu kita dicap negara yang memperjualbelikan kayu ilegal. Negara yang tak mampu bersaing karena produk kayunya berasal dari kayu ilegal.
Bahkan, dalam siaran pers, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 13 Maret 2020 disebutkan, kebijakan menghapus dokumen V-legal (dan dokumen Health Certificate) dari dokumen persyaratan ekspor merupakan stimulus nonfiskal dalam rangka penanganan Covid-19. Implikasinya, ada pengurangan larangan dan pembatasan ekspor sebanyak 749 kode HS yang 306 kode HS, di antaranya untuk produk industri kehutanan.
Menurut M Kosar, penghapusan persyaratan wajib dokumen V-legal bagi produk ekspor ini salah kaprah. Sebab, secara jangka panjang malah akan menurunkan kredibilitas produk kayu Indonesia serta kembali mempersulit industri kayu kecil-menengah untuk menjalin bisnis langsung dengan pembeli luar negeri.
Bantuan sertifikasi
Selama SVLK dibangun, pemerintah bersama sejumlah pemangku kepentingan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perindustrian secara bertahap memberi bantuan sertifikasi kepada industri kecil-menengah ataupun kelompok perajin. Para perajin mendapat asistensi pemerintah daerah untuk memenuhi berbagai syarat mendasar seperti izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan (HO), dan perizinan lain.
Secara terpisah, Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012 Diah Y Suradiredja menyatakan, pemerintah sembrono dalam menerbitkan Permendag No 15/2020. Regulasi baru itu diterbitkan seolah tanpa melihat perjuangan Indonesia keluar dari stigma sebagai negara yang buruk dalam pengelolaan sumber daya hutan. Cap yang sempat membuat produk kayu Indonesia diboikot karena dianggap berasal dari aktivitas haram berupa pembalakan liar yang merusak hutan.
Perjuangan Indonesia ”mencuci” stigma negatif itu berbuah baik dengan pengakuan sejumlah negara akan kredibilitas SVLK. Ia menunjukkan pengakuan Australia terhadap SVLK, berarti produk perkayuan Indonesia dapat memenuhi pemberlakuan ILPA (Illegal Logging Prohibition Act) oleh Australia sejak 2014 sehingga produk perkayuan Indonesia yang diekspor ke Australia tak perlu di-due diligence (uji tuntas) lagi.
Selanjutnya, Uni Eropa memberi pengakuan terhadap SVLK melalui pemberian hak penerbitan Lisensi FLEGT sejak 15 November 2016. Dengan lisensi FLEGT, pemberlakuan European Union Timber Regulation yang mewajibkan importir Uni Eropa melakukan uji tuntas atau due diligence terhadap kayu dan produk kayu yang masuk ke UE tidak berlaku bagi produk perkayuan Indonesia.
Produk perkayuan Indonesia dapat memasuki pasar 28 negara anggota Uni Eropa tanpa perlu menjalankan due diligence. ”Sampai kini Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mendapat lisensi FLEGT dari UE, di antaranya 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks FLEGT-VPA untuk mendapatkan lisensi,” ujarnya.
Dari sisi perdagangan, ia menunjukkan bukti sejak Indonesia memiliki SVLK, ekspor produk kayu SVLK melejit sangat tajam. Pada 2013, senilai 6 miliar dollar AS menjadi 6,58 miliar dollar AS (2014), 9,84 miliar dollar AS (2015), 9,26 miliar dollar AS (2016), 10,93 miliar dollar AS (2017), 12,13 miliar dollar AS (2018), dan pada 2019 menjadi 11,62 milliar dollar AS. Tahun 2019 menurun karena kondisi perekonomian global, tetapi tetap lebih tinggi dari angka 2013 dan 2017.
Ia mengatakan, Permendag No 15/2020 ini akan memberi amunisi kepada pesaing-pesaing Indonesia untuk menciptakan ”kampanye hitam” yang menjatuhkan kredibilitas dan legalitas produk kayu Indonesia. Apabila ”black campaign” terhadap SVLK berjalan baik, pangsa pasar kayu dunia akan diambil pesaing dari kawasan Asia, seperti Malaysia, Vietnam, China, dan Myanmar yang siap memiliki sistem seperti SVLK.
”Di mata dunia, Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tak mengamankan investasi karena kebijakan selalu berubah,” ujarnya. Indonesia pun rentan dipermalukan pada perundingan-perundingan internasional, seperti Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA).
Dalam perundingan itu, pada Chapter Trade and Sustainable Development (TSD), Indonesia meminta Uni Eropa untuk segera mengimplementasikan EU Timber Regulation dan bersikap adil untuk menutup pintu impor produk kayu negara-negara di bawah Uni Eropa dari negara pemasok produk kayu yang tidak memiliki dokumen ketelusuran kayu secara legal.