Cermati Tontonan Anak
Membatasi waktu menonton anak jadi persoalan rumit bagi banyak orangtua di Indonesia. Bahkan, banyak orangtua menganggap lebih baik memutarkan tayangan di internet atau televisi daripada anak menangis.
Meski punya banyak manfaat, tontonan media juga bisa berdampak buruk bagi anak. Pembatasan waktu menonton dan pendampingan orangtua jadi keharusan untuk meminimalkan dampak negatif media.
Pembunuhan yang dilakukan remaja putri NF (15), warga Jakarta Pusat, terhadap APA (5), Kamis (5/3/2020), mengagetkan banyak pihak. Anak yang selama ini identik dengan keluguan dan kelucuan nyatanya juga bisa melakukan kejahatan.
Dari penjelasan kepolisian, NF suka menonton film horor dan fantasi seram. Ia menyukai karakter Chucky, boneka yang gemar meneror dan berbuat keji dalam film Child’s Play (1988) dan Slender Man, karakter fiksi pria kurus botak tanpa muka dan bertangan panjang yang suka menculik anak dan remaja.
Slender Man muncul pertama tahun 2009 sebagai meme internet dijadikan tokoh video game pada 2012, dan diadaptasi dalam sejumlah film beberapa tahun berikutnya.
Orangtua perlu memastikan anak memliki kegiatan untuk mengisi waktu luangnya selain menikmati tontonan media elektronik dan internet.
Selain itu, masih menurut polisi, NF yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya memendam kemarahan kepada ayahnya. Beberapa minggu sebelum pembunuhan, NF ingin bertemu ibu kandungnya, tetapi tak diizinkan ayahnya.
Kini, NF masih menjalani pemeriksaan oleh kepolisian, termasuk kondisi psikologisnya dan motif perbuatannya. Namun, remaja itu mengaku tak menyesali perbuatannya.
Di luar kasus NF, tontonan seram dan kekerasan dalam berbagai media bisa berdampak negatif pada seseorang, khususnya anak dan remaja. Peneliti di Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta, Yayu Hizza Anisa di Jakarta, Jumat (13/3), mengatakan, film horor bisa meningkatkan kecemasan, panik, berkurangnya fokus, agresivitas, dan kerusakan otak.
”Rusaknya otak itu bisa menimbulkan kesulitan berpikir, menentukan prioritas, hingga kecanduan,” ujarnya.
Repotnya, gangguan dan kerusakan otak itu terjadi saat otak dan kemampuan berpikir anak masih dalam tahap perkembangan.
Psikolog klinis anak dan remaja di Yayasan Pulih Jakarta, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan, perkembangan otak remaja belum sempurna meski mereka sudah memiliki kemampuan berpikir abstrak dan ilmiah. Bagian otak yang memproses emosi matang lebih dulu dibandingkan bagian otak yang memproses pemikiran logika dan analisis.
Demikian pula kemampuan kognitifnya. Informasi dan pengalaman remaja tentang suatu hal masih terbatas. Karrena itu, ”Dalam membuat keputusan, remaja lebih sering mengikuti emosi atau suasana hatinya,” katanya.
Meski demikian, dampak buruk tayangan kekerasan atau horor pada anak itu tidak bersifat otomatis. Tayangan yang sama bisa berdampak berbeda pada setiap anak. Perilaku kekerasan yang muncul umumnya merupakan interaksi antara faktor internal dalam diri seseorang dan faktor eksternal di luar mereka.
Menurut Gisella, faktor internal yang memicu perilaku kekerasan bisa akibat cedera otak yang membuat seseorang sulit berempati, kemampuan mengelola emosi rendah, memiliki sifat pemarah dan tidak sabaran, faktor genetik, hingga penggunaan obat terlarang.
Baca juga: Sejak Usia Berapa Anak Boleh Memegang Gawai Sendiri?
Sementara faktor pemicu dari luar antara lain pernah mengalami kekerasan, baik jadi korban maupun pelaku, lingkungan keluarga atau sekitar yang permisif terhadap kekerasan, fungsi keluarga tak berjalan, pengalaman traumatik lain, hingga menyaksikan kekerasan atau menonton tayangan kekerasan di media.
Masalah sosial ekonomi juga bisa memicu perilaku kasar seseorang, seperti kemiskinan, keterbatasan akses layanan sosial, lemahnya dukungan sosial, dan diskriminasi.
”Tontonan kekerasan bisa menjadi pemicu perilaku agresif dan kasar saat diri sedang lelah, marah, atau tersakiti,” ucap Yayu.
Tayangan kekerasan itu bisa jadi inspirasi atau petunjuk seseorang anak melakukan kekerasan karena diperhatikan, disimpan dalam memori, pola perilaku yang terjadi dipegang dalam ingatan, hingga terus diulang. Jika anak menemukan contoh kekerasan di sekitarnya, baik dari orangtua maupun orang dewasa lain, anak akan lebih mudah melakukan kekerasan karena otak dan kemampuan berpikir mereka masih berkembang.
Pembatasan
Besarnya dampak negatif tayangan kekerasan dan menyeramkan membuat waktu anak menonton dalam bentuk media apa pun perlu dibatasi. Ketentuan batasan umur tontonan juga harus dipatuhi, apakah untuk anak, remaja, dewasa atau semua umur.
”Waktu mengonsumsi media elektronik maupun internet (screen time) perlu dikelola,” kata Gisella.
Anak SD hingga SMP disarankan mengonsumsi media, apa pun jenisnya, tidak lebih dari 2 jam per hari. Anak yang belum masuk SD disarankan tidak mengonsumi media sama sekali. Sementara anak SMA hingga dewasa bisa menonton 2-3 jam sehari. Materi tontonan juga perlu disesuaikan dengan usia serta bukan materi yang mengandung kekerasan, pornografi, atau hal bersifat diskriminatif.
Acuan waktu menonton tersebut sepertinya sulit dipenuhi di Indonesia. Data Nielsen Consumer & Media View menunjukkan, pada kuartal pertama 2016, orang Indonesia rata-rata menonton televisi 4 jam 54 menit sehari. Tahun 2019 pada kuartal yang sama, lama waktu di depan televisi jadi 4 jam 59 menit per hari.
Sementara itu, untuk waktu mengakses internet juga terus menunjukkan peningkatan. Dalam periode yang sama, waktu mengakses internet naik dari 2 jam 26 menit per hari pada 2016 menjadi 3 jam 20 menit dalam sehari pada 2019. Meski itu adalah waktu rata-rata menonton televisi dan internet untuk semua umur, bisa digambarkan betapa kita betah berlama-lama di depan layar monitor.
”Orangtua perlu memastikan anak memliki kegiatan untuk mengisi waktu luangnya selain menikmati tontonan media elektronik dan internet,” kata Gisella.
Namun, membatasi waktu menonton anak jadi persoalan rumit bagi banyak orangtua di Indonesia. Bahkan, banyak orangtua menganggap lebih baik memutarkan tayangan di internet atau televisi daripada anak menangis.
”Komunikasi antara anak dan orangtua perlu diperbaiki,” kata Yayu. Ajakan persuasif untuk mengurangi waktu menonton harus dilakukan dengan menyentuh emosi anak, bukan menakuti-nakuti, atau menceramahi. Namun, pemberian contoh tetap menjadi alat komunikasi terbaik dari orangtua kepada anak.