Pengungkapan identitas diri pasien Covid-19 di Indonesia secara detail telah menimbulkan stigma bagi kedua pasien. Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memperbaiki komunikasi terkait virus korona baru ini.
Heboh. Demikian kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan percakapan di media sosial setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia positif terinfeksi virus korona baru. Bukan sekadar anjuran untuk membeli masker dan cairan/jel pembersih tangan atau hand sanitizer, melainkan juga informasi detail identitas kedua pasien tersebut, termasuk foto-foto kedua pasien.
Pemberitaan sejumlah media massa yang juga menyebut identitas kedua pasien secara detail membuat identitas kedua pasien semakin terbuka ke publik. Lebih dari itu, rumah kedua pasien yang diberi police line dan disemprot disinfektan oleh tim gegana Polri juga segera menjadi pemberitaan di media massa.
Hal-hal tersebut menimbulkan kesan kondisi ”gawat darurat”, seolah penyakit Covid-19 yang disebabkan virus korona baru tersebut superberbahaya. Memang penyebaran penyakit ini sangat cepat, dan karena itu harus diwaspadai. Namun, penyebutan identitas kedua pasien secara detail dalam pemberitaan menjadi pukulan tersendiri dan bisa menimbulkan stigma baru bagi kedua pasien yang dinyatakan sebagai pasien pertama positif terinfeksi virus korona baru di Indonesia.
”Saya tertekan karena pemberitaan yang menstigma saya dan anak saya. Kasihan, kan, foto-fotonya diekspos kayak gitu. Ini, kan, bikin heboh,” kata pasien Kasus 2 dalam pembicaraan melalui telepon dengan Kompas, Selasa (3/3/2020), di Jakarta. Dia dan anaknya, pasien Kasus 1, kini dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta.
Pasien Kasus 2 juga menyesalkan langkah pemerintah yang langsung mengumumkan status penyakitnya ketika dirinya pun belum tahu penyakit yang dideritanya. ”Enggak ada (yang memberi tahu) sampai kemudian heboh kemarin (Senin, 2 Maret, ketika Presiden mengumumkan dua warga negara Indonesia positif Covid-19). Nah, karena telanjur heboh, saya tanya ke dokter yang merujuk ke sini, dia bilang bahwa saya dan anak saya positif korona sambil bilang enggak apa-apa semua sudah ditangani kok…,” katanya.
Dia mengabarkan bahwa kondisinya telah membaik dan bisa beraktivitas di ruangan meski masih diinfus. ”Kadang-kadang masih batuk-batuk kecil,” kata pasien Kasus 2 yang berharap segera pulih.
Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif menyayangkan data pribadi pasien Covid-19 yang tersebar luas di masyarakat, bahkan data ini disampaikan pejabat di daerah. Data pasien bersifat pribadi sehingga tidak boleh disampaikan secara bebas. ”Ini jelas melanggar (kode) etik,” katanya.
Selain melanggar kode etik kedokteran, membuka data pribadi pasien juga melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 17 Huruf (h) dan (i) menyebutkan, informasi pribadi dikecualikan apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, serta perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang.
”Pengungkapan identitas penderita korona secara terbuka adalah pelanggaran hak-hak pribadi,” kata Arif A Kuswardono, Komisioner Komisi Informasi Pusat.
Pengungkapan identitas penderita korona secara terbuka adalah pelanggaran hak-hak pribadi.
Media massa pun mempunyai tanggung jawab sama, apalagi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik mengatur hal tersebut. Menyebutkan identitas pribadi kedua pasien dalam kasus ini bisa menimbulkan viktimisasi atau subyek pemberitaan menjadi korban.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan, media sepatutnya tidak membuka identitas terduga penderita korona baru. Kode etik jurnalistik memang hanya memuat pasal soal korban kekerasan seksual atau pidana anak yang perlu disamarkan identitasnya. Namun, tak berarti hanya pada dua soal itu saja media perlu menyamarkan identitasnya.
”Kode etik jurnalistik meminta jurnalis menyamarkan identitas untuk dua kasus itu sebagai upaya meminimalisasi bahaya dari dampak media,” demikian pernyataan sikap AJI yang ditandatangani Ketua Umum AJI Abdul Manan dan Sekretaris Jenderal AJI Revolusi Riza.
Jurnalis dan media massa bertanggung jawab menyaring dan menyampaikan informasi yang benar dan tepat dengan menonjolkan perannya ”mendidik publik”. Fungsi mendidik itu bisa dilakukan dengan memberikan informasi tentang perkembangan terbaru kasus ini, jumlah korban, cara menghadapi penyebarannya, serta tips-tips bermanfaat lainnya agar publik bisa terhindari dari penyakit yang belum ada vaksin penangkalnya ini.
Kita hargai pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta semua pihak, baik pejabat pemerintah, petugas medis, maupun media massa, menjaga privasi kedua pasien Covid-19. Kedua pasien ditangani dengan baik dan pemerintah siap menjaga masyarakat dari penyebaran virus korona baru. Ini harus diikuti langkah nyata untuk memperbaiki dan membangun komunikasi yang baik terkait kasus ini. Informasi pemerintah yang selama ini menyatakan Indonesia ”masih aman” dari penyebaran virus ini mempunyai andil masyarakat menjadi ”panik” setelah Presiden mengumumkan adanya kasus pertama Covid-19 di Indonesia.
Membangun pusat krisis kesehatan terkait virus korona baru menjadi prioritas. Pemerintah juga harus menyampaikan apa saja yang harus dilakukan masyarakat jika mengalami tanda-tanda infeksi virus korona baru. Ke mana mereka harus memeriksakan diri. Jangan sampai seperti yang terjadi selama ini, sejumlah masyarakat yang berinisiatif memeriksakan diri untuk mengetahui ada tidak infeksi virus tersebut justru diperiksa darah dan foto rontgen seperti dialami Laraswati, warga Tangerang Selatan, pada pertengahan Februari lalu.
Demikian pula media massa, harus aktif mengedukasi publik dalam rangka pencegahan penularan, langkah penanganannya. ”Bantuan sosialisasi di lembaga penyiaran sangat diperlukan dan akan menjadi langkah efektif karena memiliki daya jangkau lebih luas untuk publik. Masyarakat dapat terinformasikan dengan benar soal pencegahan dan tata laksana yang tepat jika mendapati keluarga atau kerabat yang terjangkit virus korona baru,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio.
Pasien sudah menderita dengan virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19. Jangan menambah penderitan mereka dengan ulah pemberitaan kita.