Saat balita, gizi adalah penentu utama pertumbuhan anak, bukan faktor genetika. Namun, memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi, bukan anak asal makan, memang tidak mudah.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
Ramalan Jayabaya, Raja Kediri (1135-1157), menyebut akan datangnya orang cebol yang menjajah tanah Jawa dalam waktu singkat, seumur jagung. Prediksi itu sering dikaitkan dengan penjajahan bangsa Jepang di Indonesia tahun 1942-1945. Di masa itu, postur orang Jepang memang pendek.
Jika ramalan itu diterapkan saat ini, sebutan cebol untuk orang Jepang tidak akan cocok lagi. Data Human Height yang disusun Max Roser, dkk, Mei 2019 menunjukkan tinggi rata-rata pria Jepang yang pada 2014 berumur 18 tahun mencapai 170,82 sentimeter (cm). Itu lebih tinggi dari rata-rata tinggi laki-laki Indonesia yang hanya 163,55 cm.
Di Asia Tenggara, tinggi rata-rata laki-laki Indonesia pun tertinggal dibanding negara lain dengan pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan baik, termasuk Vietnam yang mencapai 164,45 cm. Pria Singapura jadi pemegang rekor di ASEAN dengan tinggi rata-rata mencapai 172,57 cm.
Di negara-negara Asia dengan kesejahteraan baik, rata-rata tinggi penduduknya bisa menyamai bahkan melebihi rata-rata tinggi manusia dewasa global yang mencapai 171 cm untuk pria dan 159 cm bagi wanita pada 2014. Makanan bergizi dan lingkungan baik nyatanya membuat bangsa-bangsa dari ras Mongoloid bisa setinggi ras Kaukasoid.
Genetika memang berperan menentukan tinggi badan optimal seseorang. Namun, studi Mercedes de Onis, dkk yang dipublikasikan di jurnal Public Health Nutrition, September 2012 menunjukkan bayi dan anak-anak dari ras berbeda yang mendapat asupan nutrisi cukup dan lingkungan yang baik memiliki tinggi badan yang hampir sama.
"Dalam lima tahun pertama, pertumbuhan ideal anak ditentukan oleh nutrisi, pengasuhan dan lingkungan," kata Robert Murray, profesor nutrisi manusia dari Universitas Negeri Ohio, Amerika Serikat dalam Growth Summit ke-4 di Stockholm, Swedia, Senin (10/2/2020).
Lingkungan baik yang mendukung pertumbuhan optimal anak itu antara lain berupa tersedianya sumber air bersih, sanitasi baik, jauh dari ancaman aneka penyakit infeksi, hingga bebas dari asap rokok dan polusi udara.
Dalam lima tahun pertama, pertumbuhan ideal anak ditentukan oleh nutrisi, pengasuhan dan lingkungan.
Jika nutrisi berperan utama dalam lima tahun pertumbuhan anak, maka genetika umumnya baru berperan di masa akhir perkembangan anak-anak atau menjelang masa pubertas. Itu berarti, orangtua yang pendek tetap berpeluang memiliki anak dengan tinggi badan optimal.
Wakil Presiden Bidang Keilmuan dan Kedokteran Abbott Low Yen Ling mengatakan miskonsepsi tentang peran genetika dalam penentu tinggi badan seseorang banyak ditemukan di Asia. Orang Asia yang kecil dan pendek umumnya menganggap mereka tidak akan bisa menyamai orang Eropa dan Amerika Utara yang tinggi besar.
Studi membantah konsepsi tersebut. Orang Korea Selatan, China, dan Jepang, baik pria maupun wanita, kini bisa memiliki tinggi badan sama dengan orang Eropa atau Amerika Utara.
"Pola makan masyarakat Asia tetap bisa memenuhi kebutuhan gizi untuk tumbuh kembang anak," katanya. Namun, kualitas dan kuantitas makanan perlu jadi perhatian. Kebutuhan gizi anak itu tidak bisa hanya dipenuhi dari jumlah makanan yang dikonsumsi, namun juga harus mengandung zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Kesadaran
Meski nutrisi jadi penggerak utama pertumbuhan anak, banyak orangtua kurang peduli atas terpenuhi atau tidaknya kebutuhan gizi anak. Banyak orangtua cukup puas jika anaknya makan banyak. Padahal, kini, malnutrisi atau kekurangan zat gizi mikro jadi ancaman pertumbuhan anak.
Saat ini, separuh anak dunia kekurangan zat gizi mikro, terutama seng (Zn), besi (Fe), yodium (I), folat dan vitamin A. "Karena jumlahnya kecil, saat tidak tercukupi bisa berdampak parah," kata Luise Marino, ahli gizi klinis anak dari Rumah Sakit Anak Southampton, Inggris.
Zat gizi mikro itu berperan dalam produksi hormon, enzim, dan sejumlah zat penting lain yang berguna bagi tumbuh kembang anak. Malanutrisi berdampak sama buruknya dengan berat badan kurang akibat kekurangan energi atau berat badan berlebih akibat kelebihan kalori.
Malanutrisi itu bisa terjadi pada siapapun, termasuk kelompok masyarakat dengan ekonomi baik, terdidik, dan tinggal di negara maju. Namun di Indonesia, situasi itu makin bertambah komplek karena masih tingginya jumlah anak tengkes (stunting).
Selama 1,5 dasawarsa terakhir, 1 dari 3 anak balita Indonesia mengalami tengkes alias tubuhnya lebih pendek dibanding tinggi badan seharsunya sesuai umurnya. Tengkes adalah cerminan buruknya gizi anak yang tak hanya berdampak pada tinggi badan, namun juga perkembangan otak dan organ tubuh lain.
Tengkes juga berdampak besar bagi pembangunan ekonomi, meningkatkan biaya kesehatan, melanggengkan kemiskinan.
Menurut Yen Ling, tengkes umumnya terjadi setelah anak lepas dari masa pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan pertama hingga umur 2 tahun. Padahal di masa ini adalah fase emas pertumbuhan fisik dan otak anak yang menentukan kesejahteraan dan produktivitasnya di masa depan.
Selepas ASI eksklusif, anak mulai mengenal makanan padat. Namun, banyak orangtua memberi bayinya makanan orang dewasa yang dilembutkan atau ditambah air. Model makanan yang jelas tidak memenuhi kebutuhan gizi anak itu umumnya diperoleh dari tradisi keluarga terdahulu atau masyarakat sekitarnya.
Di sisi lain, banyak orangtua atau pengasuh anak tidak sabar dengan sikap anak yang pilih-pilih makanan. Akibatnya, anak hanya makan yang itu-itu saja atau kandungan gizinya tidak lengkap dan seimbang. Sikap pilih-pilih makanan itu terjadi pada semua anak sehingga orang tua perlu lebih telaten menyiapkan dan menyajikan makanan untuk menarik minat anak.
Tengkes
Dokter spesiliasi anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia yang hadir dalam pertemuan tersebut, Klara Yuliarti mengatakan salah satu penyebab tingginya tengkes di Indonesia adalah kurangnya asupan protein hewani. Kebutuhan tubuh terhadap protein hewani itu tidak bisa disubstitusi oleh protein nabati.
"Susu, telur, dan daging adalah sumber protein hewani yang baik," katanya. Telur dan ikan adalah sumber protein hewani yang relatif murah dan mudah diakses masyarakat. Namun kurangnya pengetahuan membuat sumber protein hewani yang dekat dengan masyarakat itu tidak terkonsumsi dengan baik.
Terpenuhinya gizi anak, termasuk penuntasan persoalan tengkes di Indonesia adalah investasi masa depan bangsa. Karena itu, pemenuhan gizi anak dengan makanan yang beragam yang mengandung gizi lengkap dan seimbang perlu terus didorong.